kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Bahana TCW: Kenaikan harga komoditas unggulan dapat menjadi berkah bagi APBN


Senin, 11 Oktober 2021 / 11:29 WIB
Bahana TCW: Kenaikan harga komoditas unggulan dapat menjadi berkah bagi APBN
ILUSTRASI. Pasokan komoditas energi terbatas karena produksi belum normal akibat pandemi dan faktor cuaca.


Reporter: Achmad Jatnika | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini krisis energi sedang terjadi di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Asia seiring dengan kembali aktifnya perekonomian pasca pandemi Covid-19 dan datangnya musim dingin yang mendorong tingginya permintaan energi.

Kelangkaan pasokan dan naiknya harga gas, naiknya tarif listrik, dan sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) menjadi penyebab krisis energi yang terjadi. Sementara itu, pasokan komoditas energi terbatas karena produksi belum normal akibat pandemi dan faktor cuaca.

Chief Economist Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), Budi Hikmat, riset mengatakan, supply stock menjadi penyebab utama. Secara umum permintaan masyarakat paska pandemi mulai tumbuh. Di sisi lain, rantai pasokan belum siap untuk kembali ke level produksi seperti sebelum pandemi.

Baca Juga: Kurs rupiah menguat ke Rp 14.212 per dolar AS jelang siang hari ini

Budi melihat, pasokan Eropa dari Rusia terganggu, harga batubara di China juga merangkak naik akibat terdampak perselisihan dengan salah satu produsen batubara terbesar yaitu Australia. Sementara itu pasokan dari Indonesia juga terganggu musim hujan dan produsen batubara lokal di China terdampak kebijakan pemerintahnya yang tengah fokus ke green energy.

Meskipun krisis energi yang terjadi pada negara-negara tersebut sentimen negatif bagi pemulihan ekonomi Indonesia, tetapi Budi melihat ini dapat menjadi peluang besar bagi Indonesia terutama dari sisi penerimaan negara. Ini tergambar dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang mayoritas dikontribusi oleh pendapatan komoditas, bahkan hingga Agustus 2021 sudah mencapai 93,1% dari target yang ditetapkan di APBN.

“Jika kita dapat memaksimalkan komoditas unggulan kita yang saat ini harganya rally, bukan tidak mungkin pada akhir tahun PNBP kita akan melebihi target pemerintah. Tentu ini adalah peluang besar yang dapat kita maksimalkan,” ungkap Budi.

Baca Juga: PLN butuh Rp 72,4 triliun per tahun untuk mendorong kelistrikan 10 tahun ke depan

Bahana TCW menghimpun beberapa data komoditas dari Bloomberg hingga 3 Oktober 2021, dan mendapati hasil bahwa beberapa komoditas unggulan Indonesia terus menunjukkan tren naik. Secara year to date (ytd) harga batubara telah naik 180,4%, harga timah tumbuh 130%, minyak sawit mentah (CPO) telah tumbuh 11,4%, dan nikel naik 31,4%.

Menurut Bahana TCW, jika pertumbuhan ini terus berlanjut hingga akhir tahun dan Indonesia dapat mengoptimalisasi peluang ini, pendapatan negara secara umum di akhir tahun bisa mencapai target 100%, atau bahkan melebihi target yang ditetapkan. Dengan kondisi APBN yang sehat, Bahana TCW juga melihat, ini akan berdampak positif terhadap rencana pemulihan ekonomi pasca pandemi dan supply risk dari Surat Berharga Negara (SBN) hingga akhir tahun.

Sejauh ini lima komoditas penyumbang trade surplus Indonesia, masih didominasi batubara sebesar 13,91%, disusul base metal product sebesar 13,68%, minyak sawit 11,28%, produk manufaktur sebesar 7,51% dan tekstil dan produk tekstil sebesar 6,41%.

Baca Juga: Kurs rupiah perkasa akibat kenaikan harga komoditas

Bahana TCW memprediksikan tren kenaikan harga komoditas tersebut dapat bertahan setidaknya hingga akhir tahun. Jika hal ini terjadi, maka akan berdampak positif terhadap APBN Indonesia.

Akan tetapi, masih ada beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian. Risiko terutama respons regulator terkait dengan tingkat inflasi yang berpotensi naik sebagai dampak dari supply stock di sektor energi, tenaga kerja maupun bahan baku, atau bahkan dari sisi logistik yang sedang melanda dunia saat ini.

Selain itu, Budi juga melihat, perlu adanya perhatian kepada kondisi perekonomian China ke depan, karena eksposur impor bahan baku kita dari China yang tinggi dibanding negara-negara Eropa. “Jika harga energi melonjak tinggi akan berdampak pada impor bahan baku dari China yang didominasi oleh produk manufaktur, barang-barang elektronik, besi dan baja untuk infrastruktur, dan lain-lain,” ujar Budi.

Namun, hingga akhir tahun ia mengasumsikan tingkat inflasi Indonesia akan lebih rendah, karena dampak dari kenaikan harga energi dunia masih ditahan oleh subsidi energi, baik bahan bakar minyak, dan listrik oleh pemerintah.

Baca Juga: Harga logam industri naik, cek lagi rekomendasi saham emiten sektor ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×