Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari
Founder Stocknow.id, Hendra Wardana menilai, kinerja sektoral di pasar modal Indonesia di tahun 2024 memiliki dinamika yang menarik.
Sektor energi menjadi unggulan lantaran ditopang oleh PTRO yang naik 426,19% di tahun 2024 dan DSSA yang melonjak 362,50% sepanjang tahun ini. Hal itu seiring diversifikasi ke energi terbarukan dan stabilnya harga komoditas.
Sektor kesehatan menguat 5,84% didukung oleh kinerja saham PT Siloam International Hospital Tbk (SILO) yang tumbuh 48,62% secara tahunan, karena meningkatnya permintaan layanan kesehatan berkualitas.
Namun, sektor keuangan justru mengalami tekanan dengan penurunan indeks 4,51%, meski fundamental para emiten masih kuat. Adalah saham BBRI, BBNI, dan BMRI yang menjadi pemberat kinerja sektor ini.
Penurunan kinerja sektor keuangan di tahun 2024 dipengaruhi oleh aksi jual investor asing, terutama pada BBRI yang mencatat net sell asing Rp 37,3 triliun per 23 Desember 2024.
“Sebaliknya, BBCA menjadi satu-satunya saham perbankan yang mencatat kinerja positif dengan kenaikan 2,93% YTD dan net buy asing Rp 827 miliar per 23 Desember,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (24/12).
Memasuki tahun 2025, pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025 akan memberikan dampak signifikan pada sektor konsumsi domestik, seperti sektor ritel, otomotif, dan properti.
Kebijakan itu menambah tekanan pada daya beli masyarakat yang sudah melemah akibat tren deflasi selama delapan bulan terakhir. Hal ini berpotensi menekan penjualan dan laba emiten di sektor-sektor tersebut
Baca Juga: BBRI dan BMRI Teratas, Cermati Saham Net Sell Terbesar Asing di Akhir Tahun 2024
“Sejumlah emiten sektor transportasi dan logistik seperti GIAA, ASSA, dan WEHA, serta telekomunikasi seperti TLKM, EXCL, dan ISAT juga akan menghadapi risiko kenaikan biaya operasional,” paparnya.
Di sisi lain, sektor-sektor defensif, seperti konsumer non-siklikal, kesehatan, dan energi, diproyeksikan akan tetap unggul di tahun 2025.
Menurut Hendra, rotasi kinerja sektoral kemungkinan terjadi di pertengahan 2025 jika pemerintah mampu menghadirkan stimulus fiskal untuk menjaga daya beli masyarakat.
“Sektor konsumsi, properti, dan otomotif yang sempat tertekan dapat bangkit apabila didukung kebijakan pro-pasar,” katanya.
Namun, peningkatan CDS Indonesia 5 tahun di akhir 2024 mencerminkan naiknya risiko pasar akibat ketidakpastian kebijakan dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Rupiah spot tercatat masih dalam tekanan karena betah berada di atas level Rp 16.000 hinggaakhir perdagangan Senin (30/12).
Hendra memproyeksikan, IHSG kemungkinan menghadapi tekanan di awal tahun 2025. Namun, ada potensi optimisme dengan target bergerak di rentang 7.800–8.000 di akhir 2025.
“Terutama, apabila pemerintah mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif,” tuturnya.
Untuk mempertahankan kinerja portofolio investasi di tahun 2025, investor perlu mengedepankan strategi selektif dan fokus pada sektor defensif dengan fundamental kuat, seperti konsumer non-siklikal, kesehatan, dan energi.
Selain saham unggulan, seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), SILO, dan ADRO, diversifikasi portofolio juga menjadi langkah penting untuk mengurangi risiko volatilitas pasar.
Kebijakan pemerintah yang mendukung daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi pun akan menjadi kunci pemulihan pasar modal.
Baca Juga: IHSG Menguat, Cermati Saham yang Banyak Diborong Asing di Akhir Tahun
“Pendekatan investasi yang bijak sembari memperhatikan sentimen makroekonomi dan sektoral, menjadi penting untuk memanfaatkan peluang di tahun mendatang,” paparnya.
Hendra pun merekomendasikan beli emiten di sektor konsumer non-siklikal, seperti ICBP, MYOR, dan JPFA, yang cenderung lebih stabil di tahun 2025 berkat sifat produknya yang merupakan kebutuhan pokok. Target harga untuk masing-masing emiten tersebut adalah Rp 12.225 per saham, Rp 2.910 per saham, dan Rp 2.030 per saham.
“Di sektor energi, ADRO diperkirakan terus menarik karena prospek stabilnya harga komoditas serta transisi ke energi terbarukan,” ungkapnya.
Perencana Keuangan Finansia Consulting, Eko Endarto melihat, iklim investasi di awal semester I 2025 masih penuh ketidakpastian. Sebut saja, tensi geopolitik belum ada tanda-tanda berakhir, ekonomi China masih dalam tahap pemulihan, dan arah kebijakan pemerintah baru AS juga belum jelas.
“Bisa dikatakan iklim investasi masih penuh tantangan untuk jangka pendek. Sementara, untuk jangka panjang, tetap optimistis, apalagi dengan adanya pemerintahan baru Tanah Air,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (24/12).
Menurut Eko, salah satu indikasi buruknya iklim investasi dan industri tercermin dari premi CDS Indonesia 5 tahun yang masih tinggi.
“Pasar melihat bahwa ekonomi masih banyak tantangan dan risiko untuk jangka pendek masih tinggi. Strategi yang tepat dengan portofolio yang sehat adalah kunci keberhasilan di tahun depan,” ungkapnya.
Di tahun 2025, ada beberapa sentimen yang harus diperhatikan investor dalam pilah-pilih portofolio investasi mereka.
Dari global, sentimennya berasal dari tensi geopolitik di Timur Tengah, kondisi ekonomi China, dan arah kebijakan AS.
Dari dalam negeri, sentimen jangka pendeknya berasal dari potensi masifnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), potensi inflasi, dan data neraca perdagangan.
Untuk investor konservatif, Eko menyarankan, berinvestasi di deposito sebesar 20% dan di emas 80%.
Baca Juga: Ditutup Beragam, Intip Proyeksi Bursa Asia Untuk Selasa (31/12)
Bagi investor moderat, bisa berinvestasi sebesar 20% di deposito, 40% di obligasi, dan 40% di emas.
Sementara, untuk investor agresif disarankan untuk menaruh 20% dananya di deposito, 20% obligasi, dan sisanya di saham atau kripto.
“Secara umum, saham yang cukup tahan dengan segala kondisi, seperti saham perbankan, energi, dan pertambangan bisa dilirik. Emiten dengan fokus transaksi keluar negeri juga bisa dipertimbangkan,” paparnya.
Senada, CEO and Founder Finansialku, Melvin Mumpuni melihat, kondisi pasar dan iklim investasi di awal tahun 2025 masih banyak ketidakpastian, baik di dalam maupun luar negeri.
Sentimen pemberat dari dalam negeri adalah daya beli kelas menengah yang masih lemah dan potensi terjadinya PHK yang berakibat naiknya angka pengangguran.
Dari luar negeri, sentimen berasal dari perlambatan ekonomi China dan potensi perang dagang akibat kebijakan kenaikan tarif dagang oleh AS.
“Peningkatan CDS Indonesia 5 tahun dipengaruhi oleh ekspektasi perubahan kurva imbal hasil obligasi di AS dan Indonesia. Untuk investor obligasi jangka panjang, sepertinya tidak perlu terlalu panik,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (25/12).
Di tahun 2025, salah satu hal yang perlu diperhatikan investor dalam mengatur portofolio investasi mereka adalah masih terjadinya penguatan indeks dolar AS.
Untuk investor konservatif, Melvin menyarankan, berinvestasi di saham sebesar 40%, di obligasi sebesar 40%, dan reksadana pasar uang (RDPU) sebesar 20%.
Untuk investor konservatif, bisa mengalokasikan 35% dana investasi di RDPU, 40% di obligasi, dan 25% di saham.
Sedangkan, investor agresif bisa mengalokasikan dana investasinya sebesar 70% di saham berkinerja apik, 20% di obligasi, dan 10% di RDPU.
“Sektor saham yang bisa dilirik di tahun 2024 adalah sektor energi termasuk batu bara, bank, serta finansial non bank,” ungkapnya.
Selanjutnya: Sambut Perayaan Tahun Baru 2025, Ini Ucapan, Tanggal Merah & Cuti Bersama Tahun 2025
Menarik Dibaca: 35 Twibbon Happy New Year 2025 untuk Rayakan Tahun Baru yang Meriah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News