kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -4.000   -0,26%
  • USD/IDR 16.195   5,00   0,03%
  • IDX 7.164   1,22   0,02%
  • KOMPAS100 1.070   0,97   0,09%
  • LQ45 838   0,57   0,07%
  • ISSI 216   -0,45   -0,21%
  • IDX30 430   0,42   0,10%
  • IDXHIDIV20 516   -1,25   -0,24%
  • IDX80 122   0,37   0,31%
  • IDXV30 126   -0,52   -0,42%
  • IDXQ30 143   -0,58   -0,40%

Atur Ulang Strategi Investasi untuk Tahun 2025, Volatilitas Pasar Masih Menghantui


Selasa, 31 Desember 2024 / 13:14 WIB
Atur Ulang Strategi Investasi untuk Tahun 2025, Volatilitas Pasar Masih Menghantui
ILUSTRASI. South Korean air crash investigators examine airport embankment, bird strikes as possible factors SOUTHKOREA-CRASH/ (UPDATE 3, PIX, TV):UPDATE 3-South Korean air crash investigators examine airport embankment, bird strikes as possible factors * Authorities working to identify remaining victims from Sunday crash * Investigators examine bird strikes, control systems, and pilot actions * Experts criticise runway design, citing proximity of embankment (Adds comments from expert and transport ministry official in paragraphs 15, 16, 17) By Hyonhee Shin and Joyce Lee SEOUL, Dec 31 (Reuters) - Investigations into what caused the crash of a Jeju Air jet ramped up on Tuesday as police rushed to identify victims and as families of those killed in South Korea's deadliest domestic air accident pressed authorities for more information. The National Police Agency said it is making all-out efforts by adding personnel and rapid DNA analysers to hasten the identification of the five bodies still unidentified as of Tuesday. Family members gathered at the country's Muan International Airport, where the crash occurred, have pushed for faster identification and more information from authorities. All 175 passengers and four of the six crew were killed when a Jeju Air Boeing 737-800 belly-landed and skidded off the end of the runway, erupting in a fireball as it slammed into a wall. Two crew members were pulled out alive. South Korea's acting President Choi Sang-mok on Monday ordered an emergency safety inspection of the country's entire airline operation as investigators sought to find out what caused the deadliest air disaster on South Korean soil. The Transportation Ministry said a "Black Box" flight recorder recovered from the crash site was missing a key connector and authorities were reviewing how to extract its data. Inspections of all 101 B737-800s operated by South Korean airlines was scheduled to be completed by Jan. 3, while the airport would now remain closed until Jan. 7, the Transport Ministry added. Representatives from the U.S. National Transportation Safety Board (NTSB), Federal Aviation Administration, and aircraft manufacturer Boeing have joined the investigative body. The NTSB said in a statement it sent three investigators including people with specialties in operational factors and airworthiness to South Korea to assist the investigation. "If we need more specialists we will send them," board chair Jennifer Homendy said in an interview. QUESTIONS ABOUT EMBANKMENT Investigators are examining bird strikes, whether any of the aircraft's control systems were disabled, and the apparent rush by the pilots to attempt a landing soon after declaring an emergency as possible factors in the crash, fire and transportation officials have said. Officials have also faced pointed questions about design features at the airport, particularly a large dirt-and-concrete embankment near the end of the runway used to support navigation equipment. The plane slammed into the embankment at high speed and erupted into a fireball. Bodies and body parts were thrown into surrounding fields and most of the aircraft disintegrated in flames. "Unfortunately, that thing was the reason that everybody got killed because they literally hit a concrete structure," Captain Ross â??Rustyâ? Aimer, the CEO of Aero Consulting Experts, told Reuters. "It shouldn't have been there." Transport Ministry officials said most South Korean airports were built based on International Civil Aviation Organization rules that recommend a 240 metre (262 yard) runway end safety area, though a domestic law allows adjusting the location of some installations within a range that does not "significantly affect the performance of the facility". "But we'll look into whether there are any conflicts in our own regulations, and conduct an additional review of our airport safety standards," Kim Hong-rak, director general for airport and air navigation facilities policy, told a briefing. The U.S. Federal Aviation Authority uses different standards, Kim added. John Cox, CEO of Safety Operating Systems and former 737 pilot, said the runway design "absolutely (did) not" meet industry best practices, which preclude any hard structure like a berm within at least 300 metres (330 yards) of the runway's end. The airport's concrete berm appears to be less than half that distance from the end of the pavement, according to Reuters' analysis of satellite images. South Korean officials have said it is about 250 metres (273 yards) from the end of the runway itself, though a paved apron extends past that. Sejumlah analis dan perencana keuangan memberikan strategi investasi yang dapat digunakan untuk tahun 2025


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari

Founder Stocknow.id, Hendra Wardana menilai, kinerja sektoral di pasar modal Indonesia di tahun 2024 memiliki dinamika yang menarik.

Sektor energi menjadi unggulan lantaran ditopang oleh PTRO yang naik 426,19% di tahun 2024 dan DSSA yang melonjak 362,50% sepanjang tahun ini. Hal itu seiring diversifikasi ke energi terbarukan dan stabilnya harga komoditas. 

Sektor kesehatan menguat 5,84% didukung oleh kinerja saham PT Siloam International Hospital Tbk (SILO) yang tumbuh 48,62% secara tahunan, karena meningkatnya permintaan layanan kesehatan berkualitas. 

Namun, sektor keuangan justru mengalami tekanan dengan penurunan indeks 4,51%, meski fundamental para emiten masih kuat. Adalah saham BBRI, BBNI, dan BMRI yang menjadi pemberat kinerja sektor ini.

Penurunan kinerja sektor keuangan di tahun 2024 dipengaruhi oleh aksi jual investor asing, terutama pada BBRI yang mencatat net sell asing Rp 37,3 triliun per 23 Desember 2024.

“Sebaliknya, BBCA menjadi satu-satunya saham perbankan yang mencatat kinerja positif dengan kenaikan 2,93% YTD dan net buy asing Rp 827 miliar per 23 Desember,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (24/12).

Memasuki tahun 2025, pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025 akan memberikan dampak signifikan pada sektor konsumsi domestik, seperti sektor ritel, otomotif, dan properti. 

Kebijakan itu menambah tekanan pada daya beli masyarakat yang sudah melemah akibat tren deflasi selama delapan bulan terakhir. Hal ini berpotensi menekan penjualan dan laba emiten di sektor-sektor tersebut

Baca Juga: BBRI dan BMRI Teratas, Cermati Saham Net Sell Terbesar Asing di Akhir Tahun 2024

“Sejumlah emiten sektor transportasi dan logistik seperti GIAA, ASSA, dan WEHA, serta telekomunikasi seperti TLKM, EXCL, dan ISAT juga akan menghadapi risiko kenaikan biaya operasional,” paparnya.

Di sisi lain, sektor-sektor defensif, seperti konsumer non-siklikal, kesehatan, dan energi, diproyeksikan akan tetap unggul di tahun 2025. 

Menurut Hendra, rotasi kinerja sektoral kemungkinan terjadi di pertengahan 2025 jika pemerintah mampu menghadirkan stimulus fiskal untuk menjaga daya beli masyarakat. 

“Sektor konsumsi, properti, dan otomotif yang sempat tertekan dapat bangkit apabila didukung kebijakan pro-pasar,” katanya.

Namun, peningkatan CDS Indonesia 5 tahun di akhir 2024 mencerminkan naiknya risiko pasar akibat ketidakpastian kebijakan dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Rupiah spot tercatat masih dalam tekanan karena betah berada di atas level Rp 16.000 hinggaakhir perdagangan Senin (30/12).

Hendra memproyeksikan, IHSG kemungkinan menghadapi tekanan di awal tahun 2025. Namun, ada potensi optimisme dengan target bergerak di rentang 7.800–8.000 di akhir 2025.

“Terutama, apabila pemerintah mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan menciptakan iklim investasi yang kondusif,” tuturnya.

Untuk mempertahankan kinerja portofolio investasi di tahun 2025, investor perlu mengedepankan strategi selektif dan fokus pada sektor defensif dengan fundamental kuat, seperti konsumer non-siklikal, kesehatan, dan energi. 

Selain saham unggulan, seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), SILO, dan ADRO, diversifikasi portofolio juga menjadi langkah penting untuk mengurangi risiko volatilitas pasar. 

Kebijakan pemerintah yang mendukung daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi pun akan menjadi kunci pemulihan pasar modal. 

Baca Juga: IHSG Menguat, Cermati Saham yang Banyak Diborong Asing di Akhir Tahun

“Pendekatan investasi yang bijak sembari memperhatikan sentimen makroekonomi dan sektoral, menjadi penting untuk memanfaatkan peluang di tahun mendatang,” paparnya.

Hendra pun merekomendasikan beli emiten di sektor konsumer non-siklikal, seperti ICBP, MYOR, dan JPFA, yang cenderung lebih stabil di tahun 2025 berkat sifat produknya yang merupakan kebutuhan pokok. Target harga untuk masing-masing emiten tersebut adalah Rp 12.225 per saham, Rp 2.910 per saham, dan Rp 2.030 per saham. 

“Di sektor energi, ADRO diperkirakan terus menarik karena prospek stabilnya harga komoditas serta transisi ke energi terbarukan,” ungkapnya.

Perencana Keuangan Finansia Consulting, Eko Endarto melihat, iklim investasi di awal semester I 2025 masih penuh ketidakpastian. Sebut saja, tensi geopolitik belum ada tanda-tanda berakhir, ekonomi China masih dalam tahap pemulihan, dan arah kebijakan pemerintah baru AS juga belum jelas.

“Bisa dikatakan iklim investasi masih penuh tantangan untuk jangka pendek. Sementara, untuk jangka panjang, tetap optimistis, apalagi dengan adanya pemerintahan baru Tanah Air,” ujarnya kepada Kontan, Selasa (24/12).

Menurut Eko, salah satu indikasi buruknya iklim investasi dan industri tercermin dari premi CDS Indonesia 5 tahun yang masih tinggi.

“Pasar melihat bahwa ekonomi masih banyak tantangan dan risiko untuk jangka pendek masih tinggi. Strategi yang tepat dengan portofolio yang sehat adalah kunci keberhasilan di tahun depan,” ungkapnya.

Di tahun 2025, ada beberapa sentimen yang harus diperhatikan investor dalam pilah-pilih portofolio investasi mereka.

Dari global, sentimennya berasal dari tensi geopolitik di Timur Tengah, kondisi ekonomi China, dan arah kebijakan AS.

Dari dalam negeri, sentimen jangka pendeknya berasal dari potensi masifnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), potensi inflasi, dan data neraca perdagangan. 

Untuk investor konservatif, Eko menyarankan, berinvestasi di deposito sebesar 20% dan di emas 80%.

Baca Juga: Ditutup Beragam, Intip Proyeksi Bursa Asia Untuk Selasa (31/12)

Bagi investor moderat, bisa berinvestasi sebesar 20% di deposito, 40% di obligasi, dan 40% di emas.

Sementara, untuk investor agresif disarankan untuk menaruh 20% dananya di deposito, 20% obligasi, dan sisanya di saham atau kripto.

“Secara umum, saham yang cukup tahan dengan segala kondisi, seperti saham perbankan, energi, dan pertambangan bisa dilirik. Emiten dengan fokus transaksi keluar negeri juga bisa dipertimbangkan,” paparnya.

Senada, CEO and Founder Finansialku, Melvin Mumpuni melihat, kondisi pasar dan iklim investasi di awal tahun 2025 masih banyak ketidakpastian, baik di dalam maupun luar negeri. 

Sentimen pemberat dari dalam negeri adalah daya beli kelas menengah yang masih lemah dan potensi terjadinya PHK yang berakibat naiknya angka pengangguran.

Dari luar negeri, sentimen berasal dari perlambatan ekonomi China dan potensi perang dagang akibat kebijakan kenaikan tarif dagang oleh AS.

“Peningkatan CDS Indonesia 5 tahun dipengaruhi oleh ekspektasi perubahan kurva imbal hasil obligasi di AS dan Indonesia. Untuk investor obligasi jangka panjang, sepertinya tidak perlu terlalu panik,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (25/12).

Di tahun 2025, salah satu hal yang perlu diperhatikan investor dalam mengatur portofolio investasi mereka adalah masih terjadinya penguatan indeks dolar AS.

Untuk investor konservatif, Melvin menyarankan, berinvestasi di saham sebesar 40%, di obligasi sebesar 40%, dan reksadana pasar uang (RDPU) sebesar 20%.

Untuk investor konservatif, bisa mengalokasikan 35% dana investasi di RDPU, 40% di obligasi, dan 25% di saham.

Sedangkan, investor agresif bisa mengalokasikan dana investasinya sebesar 70% di saham berkinerja apik, 20% di obligasi, dan 10% di RDPU.

“Sektor saham yang bisa dilirik di tahun 2024 adalah sektor energi termasuk batu bara, bank, serta finansial non bank,” ungkapnya.

Selanjutnya: Sambut Perayaan Tahun Baru 2025, Ini Ucapan, Tanggal Merah & Cuti Bersama Tahun 2025

Menarik Dibaca: 35 Twibbon Happy New Year 2025 untuk Rayakan Tahun Baru yang Meriah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×