Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga nikel terus tertekan di bawah US$ 20.000/ton. Meski begitu, emiten-emmiten di sektor nikel masih mampu mendulang sentimen positif dari program hilirisasi.
Melansir Trading Economics, sejak awal tahun harga nikel dunia masih tertekan ke US$ 16.469 per metrik ton pada Jumat (26/1) dari posisi US$ US$ 16.603 per metrik ton.
Analis Kiwoom Sekuritas Miftahul Khaer mengatakan, tertekannya harga nikel disinyalir oleh lithium ferro phosphate (LFP) yang merupakan alternatif bahan baku baterai kendaraan listrik. Selain itu nikel saat ini juga kelebihan pasokan.
"Sehingga untuk beberapa waktu ke depan situasi ini kami nilai masih akan menekan harga nikel global," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (26/1).
Baca Juga: Baterai Jenis Lithium Ion Phosphate Diminati, Nikel Terancam Masih Menarik?
Analis Panin Sekuritas, Felix Darmawan memperkirakan pergerakan harga nikel dalam satu tahun ke depan relatif flat, di level US$ 17.000 per metrik ton. Datarnya harga komoditas ini akibat target pertumbuhan ekonomi dan stimulus dari China yang masih di bawah ekspektasi konsensus dan potensi kenaikan produksi nikel global.
"Namun, adanya potensi penurunan tingkat suku bunga dapat berdampak positif bagi harga nikel," sambungnya.
Felix menjelaskan, penggunaan nikel di China mayoritas untuk industri stainless steel atau sekitar 69% karena unsur nikel dalam baja meningkatkan kekuatan serta daya tahan. Disusul platting yang mencapai 15%. Sementara untuk industri baterai yang sedang booming seiring peningkatan popularitas kendaraan listrik (EV) baru 5% dari total penggunaan.
Penggunaan stainless steel di berbagai wilayah masih didominasi sektor konstruksi. Secara global, penggunaan baja diperlukan untuk segmen konstruksi dengan porsi sekitar 47% dari total penggunaan baja. Secara khusus, penggunaan baja dalam konstruksi ialah untuk kebutuhan pondasi struktur bangunan baik residensial maupun non-residensial seperti infrastruktur jembatan dan transportasi publik.
Analis Sinarmas Sekuritias Inav Haria Chandra justru mengantisipasi kenaikan harga nikel tahun ini. Ia melihat pergeseran dari pertumbuhan pasokan yang kuat dan permintaan yang lemah ke dinamika yang lebih seimbang, didukung oleh kenaikan harga baja secara bertahap dan langkah-langkah untuk menstabilkan sektor properti, terutama di China.
"Dalam pandangan kami, penguatan harga baja baru-baru ini mungkin mencerminkan langkah-langkah yang bertujuan untuk mendukung sektor properti, belum lagi kenaikan harga bijih besi," katanya.
Meskipun memang, lanjutnya, hal tersebut juga akan bergantung pada keberhasilan langkah-langkah itu ditegakkan. Namun pihaknya menduga bahwa penurunan di sektor properti setidaknya akan terhenti.
Selain itu, kenaikan PMI Konstruksi China dalam dua bulan terakhir berturut-turut mungkin mencerminkan belanja infrastruktur yang lebih tinggi. Kemudian, hal ini juga menjelaskan kekuatan relatif pada harga bijih besi dan baja China.
"Meskipun kenaikannya tidak terlalu besar, kami masih memperkirakan harga nikel LME akan kembali di atas US$ 20.000 per metrik ton pada kuartal I 2024," paparnya.
Baca Juga: Pamor Nikel Indonesia Dinilai Masih Cerah untuk Jangka Panjang, Ini Alasannya
Oleh sebab itu, Sinarmas Sekuritas memberikan pandangan overweight untuk sektor nikel. Pandangan itu didukung dari harga nikel yang lemah sudah diperhitungkan dalam nilai saham saat ini. Lalu revisi kenaikan pendapatan yang diantisipasi, didorong oleh kenaikan harga nikel yang diharapkan sejalan dengan pasar yang lebih stabil di tahun 2024.
Sinarmas Sekuritas menyukai saham INCO didukung oleh neraca keuangan yang baik, utang yang minimal, dan potensi modal yang besar. Lalu NCKL dan MBMA untuk pertumbuhan produksi yang kuat selama tiga tahun ke depan.
"Sikap kami terhadap ANTM adalah NETRAL, terutama karena kemungkinan dikeluarkannya ANTM dari MSCI Indonesia pada periode rebalancing mendatang," katanya.
Adapun Miftahul juga masih berpandangan positif terhadap sejumlah emiten di sektor nikel. Menurutnya, hilirisasi nikel akan memberikan benefit yang jauh lebih besar meski harga komoditas mentahnya alami penurunan, sehingga emiten-emiten yang memiliki smelter masih akan mendulang sentimen positif di tengah harga komoditas yang mengalami penurunan.
Kiwoom Sekuritas menyematkan rekomendasi buy ANTM dengan target harga Rp 1.970 dan hold untuk INCO dengan target harga Rp 4.680.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News