Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingginya volatilitas yang terjadi pada beberapa instrumen investasi diprediksi bakal membaik di pengujung 2020. Meskipun begitu, tetap saja tren pergerakan ke depan masih akan didominasi oleh perkembangan penyebaran dan penanganan Covid-19, khususnya di Amerika Serikat (AS), Brasil, India, dan Indonesia.
Berdasarkan riset Kontan.co.id, dalam 6 bulan terakhir investasi emas menjadi instrumen yang mencatat kenaikan paling tinggi. Harga emas spot tercatat naik 16,35%, diikuti kenaikan harga emas Antam sebanyak 5,58%, ada juga obligasi korporasi yang tumbuh 4,36% dan obligasi negara 3,55%.
Sementara itu, untuk penurunan cukup dalam terjadi pada IHSG sebanyak 22,13%. "Ke depan (prospek portofolio investasi) masih akan sangat dipengaruhi Covid-19, sehubungan dengan kecepatan reopening ekonomi di seluruh dunia," jelas Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich kepada Kontan.co.id, Rabu (1/7).
Baca Juga: Kuartal ketiga masih penuh ketidakpastian, ini rekomendasi investasi di jangka pendek
Selanjutnya, dampak pemulihan di sektor bisnis dan ekonomi juga jadi perhatian utama investor ke depan, apakah itu akan berlangsung cepat. Di samping itu, tingkat suku bunga acuan bank sentral dunia saat ini dalam tren rendah.
Untuk itu, Farash menilai beberapa kondisi tersebut bakal mendorong tren investasi global ke negara emerging market yang memiliki return atau imbal hasil meningkat. Kondisi tersebut harapannya disertai prospek pemulihan ekonomi yang lebih cepat.
Dia menilai, semua instrumen investasi saat ini masih memiliki risiko, termasuk emas yang digadang-gadang sebagai instrumen dengan pertumbuhan paling positif di awal 2020 tersebut. Dia menekankan bahwa emas global saat ini masih dalam posisi loss jika dilihat dari level tertingginya di 2011 atau 9 tahun posisi loss.
"Oleh karena itu, memang sebaiknya investor berinvestasi pada instrumen yang memiliki kualitas fundamental baik, dengan valuasi rendah dan likuiditas yang tinggi," jelas Farash.
Baca Juga: Menanti kondisi pasar pulih, kas dan obligasi masih jadi pilihan investasi
Selain itu, diversifikasi juga jadi langkah penting yang perlu dilakukan investor saat ini. Beberapa jenis instrumen investasi (kelas aset) bisa dilirik untuk mengurangi risiko fundamental, valuasi dan risiko likuiditas.
Adapun untuk porsi cash, Farash menganjurkan untuk tidak perlu berlebihan. Investor cukup mengantongi kas untuk kebutuhan operasional dan dana darurat. Selebihnya, dia menyarankan untuk diinvestasikan baik jangka pendek di pasar uang, jangka menengah di instrumen reksadana pendapatan tetap, hingga saham untuk prospek jangka panjang.
Untuk investor ritel, investasi reksadana bisa jadi pertimbangan ke depan. Ada juga reksadana pasar uang untuk pilihan jangka pendek, ETF obligasi untuk jangka menengah dan reksadana indeks LQ45 untuk pilihan investasi di jangka panjang.
Baca Juga: Walau dibayangi volatilitas, pasar obligasi masih punya prospek yang menarik
Bagi investor yang memiliki profil risiko konservatif bisa memilih instrumen reksadana pasar uang untuk investasi jangka waktu setahun ke depan. Namun, jika ingin berinvestasi untuk tiga tahun ke depan, bisa melakukan kombinasi instrumen dengan 70% aset ditempatkan di pasar uang dan 30% pada ETF Obligasi. Sedangkan untuk jangka panjang bisa menempatkan 10% aset di reksadana pasar uang, 20% pada reksadana pendapatan tetap dan 70% pada saham.
Sedangkan untuk investor moderat jangka panjang, bisa mengalokasikan 10% asetnya di reksadana pasar uang, 45% pada reksadana pendapatan tetap dan sisanya yakni 45% di reksadana saham.
Baca Juga: Investor disarankan berani mengatur portofolio lebih agresif di semester dua
Selanjutnya, untuk si agresif jangka panjang bisa menempatkan 10% asetnya pada reksadana pasar uang, 10%-20% pada reksadana pendapatan tetap dan sisanya sekitar 705-80% bisa ditempatkan di saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News