Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih rawan tertekan dalam jangka pendek, meski risiko pelemahan yang signifikan relatif minim. Sentimen global tetap menjadi penentu utama arah pergerakan IHSG dalam beberapa waktu ke depan.
Sebagaimana diketahui, IHSG ditutup di level 6.678,92 pada perdagangan Jumat (27/4). Sepanjang pekan lalu, kinerja IHSG cukup positif dengan tumbuh 3,74%. Namun, sejak awal tahun, kinerja IHSG masih negatif alias turun 5,66% year to date (YtD).
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas Rully Arya Wisnubroto menyampaikan, kenaikan IHSG selama pekan lalu didorong oleh beberapa sentimen positif.
Salah satunya adalah pelonggaran sikap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait perang tarif. Pemerintahan AS di bawah Trump mengisyaratkan untuk menurunkan hambatan perdagangan yang melibatkan AS dan China demi meredakan kekhawatiran terhadap resesi global.
Baca Juga: Tren Penyaluran Dividen Awal Tahun Melemah, Ini Sebabnya
Selain itu, penguatan harga emas dunia juga menjadi sentimen positif bagi kinerja indeks saham. Sentimen positif juga datang dari informasi bahwa perusahaan investasi global, UBS Group, mengerek peringkat pasar Indonesia menjadi overweight lantaran valuasi saham di Tanah Air dinilai murah.
Pengamat Pasar Modal sekaligus Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menilai, kinerja IHSG cukup terbantu oleh rebound sejumlah indeks saham AS, seperti Dow Jones, Nasdaq, dan S&P 500. Walau begitu, ia menganggap rebound yang dialami IHSG tidak terlalu tinggi dan cenderung lebih bersifat teknikal.
“Belum ada peristiwa penting yang menjadi sentimen positif, sehingga ini hanya teknikal rebound,” ujar dia, Minggu (27/4).
Secara akumulatif, investor asing juga masih melakukan aksi jual di pasar saham, meski beberapa investor mancanegara juga ada yang melakukan aksi beli saham. Merujuk data RTI, sepanjang pekan lalu, net foreign sell di seluruh pasar saham tercatat sebesar Rp 1,15 triliun.
Sebaliknya, masuknya sejumlah investor institusi lokal seperti BPJS, Taspen, hingga Danantara ke pasar saham belum cukup untuk menjadi faktor pendorong signifikan terhadap pergerakan IHSG.
Baik analis dan pengamat sepakat, risiko pelemahan IHSG masih cukup besar dalam waktu dekat, mengingat sentimen global yang penuh ketidakpastian. Arah IHSG pun masih akan bergantung pada perkembangan perang tarif.
Apalagi, beberapa negara, termasuk Indonesia, masih melakukan negosiasi tarif impor dengan AS. Di sisi lain, belum lama ini China memperingatkan negara-negara yang berunding dengan AS. Bahkan, China memberi sinyal akan membalas negara-negara yang membuat kesepakatan dengan AS, namun merugikan Negeri Tirai Bambu.
Ketidakpastian ini menimbulkan ancaman bahwa pertumbuhan ekonomi global mengalami perlambatan. Dana Moneter Internasional atau Internasional Monetary Fund (IMF) juga telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2025 menjadi 2,8% atau turun 0,5 poin persentase dari proyeksi yang dilakukan pada Januari lalu.
“Ini karena dampak dari eskalasi perang dagang yang belum pernah terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama,” kata Rully, Minggu (27/4).
Baca Juga: Berikut Penyebab Beberapa Sekuritas Revisi Target IHSG Tahun Ini
Dari dalam negeri, sentimen seperti musim pembagian dividen diperkirakan tidak memberi dampak yang masif bagi pergerakan IHSG secara jangka pendek. Lagi pula, beberapa investor kemungkinan akan menjual saham setelah emiten yang bersangkutan telah selesai membayarkan dividennya.
“Maka itu, bulan Mei biasanya IHSG rawan koreksi, karena saat itu emiten sudah selesai bayar, sesuai dengan istilah Sell in May and Go Away,” ungkap Teguh.
Fokus para pelaku pasar juga bakal tertuju pada perilisan laporan keuangan emiten pada kuartal I-2025, tidak hanya untuk emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) melainkan juga secara global. Hasil laporan keuangan ini jelas bakal menentukan arah IHSG, terlebih lagi kinerja emiten kuartal I-2025 bakal cukup mencerminkan dampak sentimen-sentimen global dan domestik yang terjadi sejak awal 2025.
Teguh pun memperkirakan kinerja IHSG dalam jangka pendek masih cenderung 50:50, karena bergantung dari perkembangan perang tarif dan hasil kinerja emiten di kuartal I-2025. Walau begitu, sangat sulit bagi IHSG untuk bisa kembali anjlok ke bawah level 6.000 maupun melejit hingga menembus level 7.000 selagi tidak ada peristiwa besar berskala global.
Berkaca dari situ, Teguh memproyeksikan IHSG akan bergerak di kisaran 6.000—6.500 hingga akhir kuartal II-2025. Saham-saham dari sektor perbankan dapat dipertimbangkan bagi investor dalam jangka pendek, terutama emiten perbankan yang bervaluasi murah namun punya kinerja positif seperti PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) dan PT Bank BTPN Syariah Tbk (BTPS).
Sementara itu, Rully memprediksi IHSG dalam jangka pendek akan bergerak di rentang 6.300—6.750. Saham-saham yang masih memiliki fundamental solid dapat dilirik oleh investor, antara lain PT Astra International Tbk (ASII), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF).
Dihubungi terpisah, Investment Analyst Edvisor Provina Visindo Indy Naila meyakini dalam jangka pendek IHSG masih berpeluang bergerak volatil dengan proyeksi di rentah 6.500—6.800. Namun, ada beberapa sentimen positif yang bisa menjadi penopang bagi IHSG, salah satunya adalah potensi penurunan suku bunga pada tahun ini yang dapat memicu pertumbuhan kredit.
Baca Juga: Tensi Dagang Mereda, Tapi Asing Tetap Keluar dari Bursa Saham Indonesia
Neraca perdagangan Indonesia juga masih surplus sehingga mencerminkan solidnya daya tahan ekonomi nasional. “Investor institusi lokal yang masuk ke IHSG juga akan meningkatkan likuiditas,” imbuh dia, Minggu (27/4).
Indy menyebut saham-saham dari sektor konsumer masih bisa diperhatikan oleh investor dalam waktu dekat. Dia merekomendasikan beli saham PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) dengan target harga Rp 945 per saham, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Tbk (LSIP) dengan target harga Rp 1.120 per saham, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) dengan target harga Rp 1.900 per saham, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dengan target harga Rp 2.170 per saham, dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dengan target harga Rp 2.350 per saham.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy berharap IHSG bisa menguat setidaknya ke kisaran 6.800—6.900 pada sisa kuartal II-2025 kendati masih banyak sentimen negatif dan ketidakpastian.
“Kami pikir level tersebut sudah bagus, karena setelah pembayaran dividen harga saham akan turun,” tutup dia, Minggu (27/4).
Selanjutnya: OJK Ungkap Tujuan Adanya Aturan Peningkatan Permodalan bagi Perusahaan Perasuransian
Menarik Dibaca: Promo Hokben Exclusive Deals dengan Bank hingga 30 April, Ada Diskon 100%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News