Reporter: Raka Mahesa W | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL) berencana mengurangi dan merestrukturisasi tumpukan utang. Manajemen APOL berharap rencana tersebut akan terlaksana pada tahun ini.
Asal tahu saja per akhir Desember 2010 utang perseroan telah mencapai Rp 6,35 triliun. Sementara ekuitas perseroan pada akhir Desember lalu minus Rp 881 miliar. Dengan begitu rasio debt to equity (DER) perseroan adalah sekitar -7,2 kali.
APOL akan melakukan tiga tahapan untuk merestrukturisasi utang tersebut. Tahap pertama perseroan akan melakukan buy back sebagian dari surat utang, dan melunasi hutang yang tidak menggunakan jaminan. Untuk tahap ini perseroan menganggarkan dana US$ 30 juta.
Manajemen APOL menjelaskan, perseroan akan melakukan reverse dutch auction (RDA) atau tender buyback tahap pertama. Artinya setiap pemegang surat utang dan kreditur lain yang akan melaksanakan tahapan ini akan menawarkan tagihan dengan diskon. Perseroan akan memilih diskon terbaik dari penawaran tersebut untuk diprioritaskan.
Dana tersebut berasal dari penerbitan saham baru seri B tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Target pencapaian dana dari hajatan tersebut total senilai US$ 75 juta. Sebesar US$ 30 juta untuk melunasi utang, dan sisanya US$ 45 juta untuk modal kerja perseroan.
Saham baru tanpa HMETD akan dibeli pemegang saham utama perseroan, yaitu PT Mandira Sanni Pratama (MSP). Sejumlah 99,98% kepemilikan MSP dikuasai Oentoro Surya, Presiden Direktur APOL. "Awalnya ada investor yang mau masuk, tapi ada perubahan rencana," kata Direktur APOL Fida Unidjaja, Selasa (28/6). Padahal jika investor baru tersebut masuk, MSP hanya akan menyediakan US$ 45 juta untuk pembelian saham baru tersebut.
Catatan KONTAN, salah satu nama investor strategis yang dikabarkan hendak masuk adalah Saratoga Capital.
Investor terdilusi
Tahap kedua, APOL akan menawarkan obligasi konversi yang bisa dikonversi menjadi saham seri B. Obligasi konversi itu ditawarkan untuk pemegang guaranteed secured notes dengan bunga 8,75% yang tidak terserap dalam aksi buyback perseroan. Obligasi konversi tersebut memiliki tenor selama enam tahun dan tanpa bunga. Perseroan menawarkan konversi utang ke obligasi konversi senilai 1,3 kali dari rata-rata harga buyback.
Oentoro bilang, jika kedua aksi tersebut berjalan mulus, perseroan memproyeksikan utang yang masih tersisa adalah senilai Rp 4,98 triliun. Sisa utang tersebut akan masuk ke dalam program restrukturisasi utang perseroan. Akan ada perpanjangan waktu sekitar 12 tahun dan penurunan bunga sebesar 35%.
Dalam tahap ketiga, perseroan akan memberikan waran seri I secara cuma-cuma. Setiap US$ 1000 utang yang akan direstruktusiassi akan mendapat waran sebanyak 6.682 waran seri I. Waran tersebut tersebut dapat digunakan untuk membeli satu saham seri B.
Setiap aksi korporasi bisa menyebabkan susunan pemegang saham terus berubah, misalnya untuk penerbitan saham baru. "Setelah penerbitan saham tanpa HMETD, seluruh kepemilikan saham selain pemilik saham utama akan terdiliusi sekitar 70,7%," kata Fida.
Dengan seluruh aksi tersebut, posisi ekuitas perseroan akan menjadi positif yaitu senilai Rp 1,06 triliun, dari sebelumnya minus Rp 881 miliar. Aset naik menjadi Rp 6,08 triliun, dari sebelumnya Rp 5,50 triliun. Dan kas naik sekitar Rp 500 miliar. "Namun semua aksi korporasi itu baru akan dimulai setelah mendapat persetujuan dari seluruh kreditur," kata Fida.
Reza Priyambada Managing Research Indosurya Asset Management menilai kreditur memang tidak memiliki pilihan kecuali mengikuti skema pelunasan dan restrukturisasi utang yang dilakukan perseroan. Pasalnya, para kreditur tersebut tidak memiliki jaminan apapun dari APOL saat membeli surat utang atau memberikan pinjaman.
Sedangkan bagi investor, aksi tersebut akan merugikan pemegang saham APOL karena kepemilikan sahamnya terdiliusi. Kata Reza, investor APOL sebaiknya melirik saham lain. Karena kalaupun ditahan harga saham tersebut tidak akan bergerak, dalam waktu yang lama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News