Reporter: Yasmine Maghfira | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor industri dasar dan bahan kimia menguat 6,48% sepanjang tahun ini. Emiten-emiten yang menjadi pendorong sektor tersebut berasal dari subsektor bisnis kimia dan semen. Namun, sebetulnya industri semen di Indonesia tengah dalam keadaan yang tak memuaskan.
Analis MNC Sekuritas Catherina Vincentia menuturkan pertumbuhan penjualan semen domestik tercatat menurun sebesar 2,19% pada paruh pertama 2019 menjadi 29,39 ton.
Penurunan penjualan domestik itu terkena dampak dari turunnya penjualan semen di Pulau Jawa yang mencapai 2,77% serta Pulau Sumatra sebesar 6,30% di semester I-2019.
Lebih lanjut, Cathy memaparkan beberapa faktor yang mendorong penurunan penjualan domestik semen. Antara lain, ada peningkatan pasokan semen produksi China dan Thailand sehingga menyebabkan terciptanya predatory pricing.
Baca Juga: Indocement (INTP) Mulai Mencatatkan Kenaikan Penjualan Semen
Selanjutnya, pembangunan infrastruktur berjalan moderat. Serta, faktor terakhir ialah belum adanya pertumbuhan positif untuk bisnis properti kelas middle-to-high.
"Maka, penyebab utama kinerja industri semen di Indonesia tahun 2019 ini kurang baik dikarenakan permintaan berkurang, tetapi produksi terus meningkat," ujar Cathy kepada Kontan.co.id, Jumat (18/10).
Ia menilai kondisi oversupply pada industri semen di Nusantara ini yang menjadi tantangan. Cathy bahkan memperkirakan penjualan semen nasional diestimasikan masih bertumbuh flat sebesar 3,13% year on year (yoy) ke level 77,56 juta ton hingga akhir tahun 2019.
Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengungkapkan hal serupa. Ia menilai industri semen memiliki prospek yang cukup baik, namun tingkat permintaan semen tahun ini berkurang dan tidak banyak berbeda dari tahun lalu.
Padahal kinerja industri semen seharusnya bisa lebih baik dengan adanya peningkatan kapasitas pada industri tersebut. Di sisi lain, nilai tukar rupiah yang tidak volatile tapi stabil juga sepatutnya dapat mendorong kinerja industri semen membaik.
Namun, Nico menilai karena bisnis semen merupakan sektor turunan, tidak akan bisa berdiri sendiri. Maksudnya, subsektor semen ini tidak dapat memiliki kinerja yang baik jika tidak dibantu sektor properti, real estate, dan infrastruktur.
"Jika sektor properti positif, maka subsektor semen juga akan menggeliat. Sebab, industri semen bersinggungan langsung dengan sektor properti, real estates, dan konstruksi. Kalau permintaan di situ rendah, semen juga tidak akan bangkit," kata Nico.
Menurut Nico, permintaan semen di Indonesia paling banyak dari properti. Namun, sektor properti saat ini sedang tidak begitu positif sehingga permintaan terhadap semen berkurang.
Baca Juga: Jokowi fokus bangun SDM di periode ke-2, ini sektor saham yang diuntungkan
Cathy juga menilai, walaupun turun, subsektor semen mendapat katalis positif dari sektor properti. Sehingga potensi penjualan semen dapat bertumbuh kembali di tahun 2020. Katalis positif tersebut karena sektor properti tumbuh akibat pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) sebesar 50 bps, yang Cathy perkirakan akan terjadi di tahun fiskal 2020. Artinya, hal itu berpeluang untuk meningkatkan pertumbuhan penjualan semen.
Cathy merekomendasikan emiten semen domestik dapat menyiapkan beberapa strategi untuk mengatasi hal tersebut, antara lain, meningkatkan ekspor semen keluar negeri, Melakukan sinergi dengan anak usaha dalam hal pembelian bahan baku dan logistik, dan meningkatkan brand awareness melalui produk low end.
Apalagi berdasarkan data Cathy, ekspor semen tumbuh 5,53% year to date pada semester I 2019, menjadi 2,81 juta ton. Itu merefleksikan 40,14% dari target yang ditetapkan Kementerian Perindustrian hingga tahun ini sebesar 7 juta ton.
Nico juga menyarankan emiten-emiten di industri semen perlu gencar dalam aspek strategis serta peningkatan ekspor.
Meskipun industri semen masih terbilang flat bagi ketiga analis ini, namun beberapa emiten masih menunjukkan kinerja yang cukup baik.
Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengungkapkan salah satu strategi emiten semen yang melakukan konsolidasi terbilang cukup efektif.
Sebagai contoh PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) yang mengakuisisi PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) pada awal tahun 2019, yang merupakan produsen semen Holcim. Apalagi SMGR merupakan salah satu pemain terbesar di industri semen Indonesia dengan pangsa pasar yang juga besar.
"SMGR salah satu pemain terbesar di semen domestik. Ia juga merupakan salah satu emiten yang masih moncer. Pertumbuhannya cukup luar biasa," ujar Nico.
Berdasarkan laporan keuangan paruh pertama 2019, SMGR mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 22,84% (yoy) menjadi Rp 16,35 triliun, sedangkan laba bersih emiten itu tergerus 50,09% (yoy) menjadi Rp 484,78 miliar. Laba SMGR anjlok karena harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) meningkat 22,9% menjadi Rp 11,68 triliun.
Kendati demikian, Nico merekomendasikan beli saham SMGR dengan target harga Rp 14.050.
Sementara Cathy mengungkapkan, sebetulnya bisnis semen meningkat kembali sampai dengan kuartal III 2019. Saham-saham SMGR dan INTP (PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk) masing-masing berkontribusi sebesar 10,61% dan 10,56% terhadap JAKBIND Indeks. Di mana harga saham SMGR telah meningkat sebesar 9,57% ytd diikuti oleh saham INTP yang juga meningkat sebesar 9,35% ytd.
Cathy menyatakan peningkatan tersebut di dorong oleh peningkatan volume penjualan semen yang diekspor sebesar 50,87% yoy per 8M19. Selain itu, adanya peluang dari pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur.
Baca Juga: Penjualan Indocement (INTP) sepanjang September 2019 naik 6,2% dibanding Agustus
Berdasarkan catatannya, permintaan semen nasional yang berasal dari wilayah Kalimantan mencapai 6,24%, dan didominasi oleh SMGR dengan market share sebesar 46,61% dalam tujuh bulan pertama tahun ini.
Namun, Cathy merekomendasi netral pada subsektor semen dengan saham pilihanINTP hold dengan target harga Rp 20.100, dan SMGR hold dengan target harga Rp 12.900.
Alasannya, karena ia memperkirakan sampai akhir tahun ini industri semen masih flat seiring dengan pertumbuhan sektor properti yang juga masih tak membaik.
Sedangkan, analis Jasa Capital Utama Chris Apriliony merekomendasikan beli saham PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP) dengan target harga Rp 400 per sahamnya untuk jangka pendek sampai akhir tahun.
Ia merekomendasi WSBP karena saham emiten itu sudah terkoreksi cukup jauh dari harga IPO dan secara valuasi PER dan PBV masih murah.
Berdasarkan catatan Kontan, WSBP mencatatkan nilai kontrak yang mencapai Rp 3,69 triliun sepanjang Januari hingga September 2019. Sedangkan, target yang ingin dicapai Waskita Beton tahun ini senilai Rp 10,31 triliun. Artinya, progres WSBP baru mencapai 35,8% dari target yang perusahaan tentukan.
"Secara kinerja memang terlihat penurunan, namun hal itu wajar karena kontrak tahun ini tidak sebesar tahun lalu. Ditambah valuasi yang masih murah, emiten semen ini masih layak untuk dikoleksi," tutup Chris.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News