kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Amankan portofolio dengan beli berbagai kelas aset


Rabu, 22 Juli 2020 / 23:49 WIB
Amankan portofolio dengan beli berbagai kelas aset
ILUSTRASI. Chief Investment Officer Eastspring Investments Indonesia Ari Pitojo saat Global and Market Outlook 2018 di Jakarta, Rabu (7/2).


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak orang berasumsi pandemik Covid-19 akan berakhir di musim panas. Tapi kenyataannya ada masih banyak korban berjatuhan di seluruh dunia. Padahal program-program stimulus yang dirancang pemerintah di berbagai dunia pun akan berakhir dalam beberapa minggu ini.

Lalu apa yang terjadi dengan perekonomian dunia kalau pandemik ini belum juga mereda sesuai asumsi? Apakah proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang buruk itu sisa lebih buruk?

Ternyata tidak ada yang bisa menjawab. Saat ini bahkan sudah berkembang menjadi konsensus dunia Covid-19 ini tidak bisa cepat berakhir.

Berikut ini wawancara dengan Demetrius Ari Pitojo Chief Investment Officer Eastspring Investments Indonesia beberapa waktu lalu membahas perkembangan ekonomi dan strategi investasi untuk menghadapinya.

Berbagai proyeksi ekonomi yang dilakukan itu kan dengan asumsi pandemik mereda di kuartal 3 sehingga perekonomian kuartal 4 bisa pulih. Tapi kalau melihat perkembangan terakhir pandemik Covid-19 ini, bagaimana pendapat Anda?

Iya banyak proyeksi dengan asumsi Covid-19 ini akan mereda di suatu waktu di musim panas. Makanya bantuan sosial di Amerika  itu kan akan berakhir di Juli ini. Di tanggal 31 Juli  bantuan yang US$ 300 per minggu per orang itu harusnya berhenti. Sekarang ini sedang diperdebatkan bagaimana kelanjutannya.

Di Indonesia juga program-program harusnya berakhir Juli ini juga, tapi diperpanjang sampai Desember. Tapi jumlahnya berkurang, seingat saya begitu. Pemerintah DKI Jakarta prediksinya kan Juni atau Juli juga. Artinya seluruh dunia, pada waktu memasuki pandemik Covid-19 memperkirakan sekitar Juli ini kasus-kasusnya akan berkurang dan kembali ke kondisi yang lebih baik. Ternyata tidak. Kemarin Pak Perry Warjiyo (Gubernur Bank Indonesia) juga ngomong ternyata pandemik Covid-nya lebih panjang. Jadi sudah ada realisasi pemahaman Covid 19 akan panjang.

Dampaknya ke ekonomi akan seperti apa?

Ketika kita bicara proyeksi ekonomi akan ada adjustment-adjustment yang sifatnya lebih weak dibandingkan sebelumnya. Bukan cuma di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.

Seberapa weak-nya ini diskusinya panjang, karena enggak ada yang tahu perjalanan covid ini. Kalau dilihat jumlah kasusnya justru covid ini makin tinggi jumlah kasusnya . Tapi agak susah ngomong jumlah kasusnya makanya orang akan melihat itu bagaimana penanganannya. Kalau dilihat jumlah kematiannya di seluruh dunia itu turun. Tapi turunnya itu sekarang melandai. Yang tadinya kita harapkan turun terus, ternyata tidak. Ternyata setelah melandai, agak sedikit naik.

Kalau di Indonesia agak susah kita bicara second wave karena memang testing-nya belum. Bahkan kalau dilihat jumlah kematiannya makin lama makin naik ya. Tapi apakah memang makin naik atau sekarang yang meninggal pun dites dibanding dulu. Nah itu juga kita tidak tahu

Di Indonesia ini praktis beberapa bulan kemarin banyak kelonggaran-kelonggaran yang diberikan. Satu, kelonggaran pembayaran utang, kelonggaran pembayaran pokok. Kedua kalau pun ada PHK, kita tidak tahu jumlah berapa orang yang di PHK-nya kan variatif ya. Tapi kalau ada uang PHK misalnya dan PHK terjadi di Maret-April atau Mei-Juni mungkin masih punya uang. Juli masih punya, tapi kan jumlahnya makin berkurang.

Uang bantuan pemerintah pun berkurang. Di satu sisi belum melihat covid-nya selesai, di sisi lain bantuannya juga sudah mulai berkurang karena ya uangnya habis. Nah itu kita bicara dunia ya.

Tapi di sisi Indonesia itu agak sedikit terbalik. Di sisi kita, covidnya belum jelas, tapi kemarin itu pengucurannya terlambat, harapannya di second half-nya itu pengucurannya akan lebih banyak. Enggak tahu ini blessing in disguise atau bukan, tapi karena pengucurannya terlambat dan covid-nya lebih panjang mungkin malah yang bisa lebih bertahan. Napasnya mudah-mudahan jadi lebih panjang.

Kalau dari para ekonom sendiri kesepakatannya belum ada, mungkin dengan asumsi baru?

Belum. Kalau dilihat kan mereka masih menunggu, tapi indikatif-nya sudah mulai keluar angka pertumbuhan ekonomi  4%, 2%. Sekarang sudah mulai 0. Tapi kalau lihat dari OECD kan –2,8% dari IMF -0,8%. Jadi yang paling rendah perkiraannya dari OECD. Jadi saya rasa somewhere dari 0 ke -2%.

Padahal ini baru perkiraan pertumbuhannya ya. Belum menghitung kerusakan akibat gara-gara Covid. Beberapa minggu ini sudah mulai dengan gugatan pailit?

Ini kan bergulir terus. Kalau misalnya saya pengusaha, oke mungkin 1 bulan saya tahan. Dua bulan oke, 3-4 bulan? Waduh mungkin saya sudah tidak tahan mendingan saya menyerah. Itu kan proses berpikir untuk mengambil keputusan. Sebenarnya kalau ada gugatan pailit itu kan tidak harus bangkrut, terutama PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). 

Ini kan untuk mengatakan dalam kondisi sekarang saya tidak bisa hidup, sehingga butuh restrukturisasi utang. Saya butuh pokok utang atau bunganya dikurangi. Kalau masuk ke PKPU itu kan tujuannya. Nah kalau tidak bisa dan tidak ada kesepakatan dengan krediturnya, baru akan menjadi pailit.

Ini proses yang akan terus berjalan dan kalau covid-nya terus berjalan tidak akan bisa dihindari akan terjadi lebih sering.

Masalah covid ini memang kombinasi, penyakitnya dan dampaknya. Jadi kalau ditanya, tidak akan ada orang yang bisa menjawab. Kalau penyakitnya saja mungkin kita bisa menebak, tapi bagaimana reaksi orang akan sangat mempengaruhi. Kalau orang-orangnya tidak disiplin, pejabatnya juga mulai mengeraskan tindakan atau memang orang-orangnya sudah disiplin. Jadi aksi reaksi ini semua akan menyebabkan siapa pun tidak bisa menjawab. Kalau ada yang bisa menjawab malah saya heran.

 Semua orang bicara seolah-olah silver bullet-nya itu vaksin. Padahal semua orang tahu vaksin itu tidak akan bertahan lama karena dia akan bermutasi terus.

Apa yang akan terus terjadi kalau ini terus terjadi? Pandemik itu kan terjadi di seluruh dunia, sementara penanganannya kan dilakukan satu-satu per negara?

Iya tidak ada leadership di dunia. Sulitnya lagi kita menghadapi musuh kecil yang bermutasi juga. Semua orang bicara seolah-olah silver bullet-nya itu vaksin. Padahal semua orang tahu vaksin itu tidak akan bertahan lama karena dia akan bermutasi terus.

Kalau ditanya berapa lama, saya juga tidak tahu. Justru ini yang membuat orang-orang yang mengikuti juga menjadi frustrasi karena dia terus bermutasi, sementara kita seperti mengejar target yang terus bergerak.

Nah mutasi ini juga kita tidak tahu, apakah akan semakin ganas atau tidak. Biasanya sih enggak, karena ketika dia berperang dengan manusia akan semakin lemah. Tingkat infeksinya makin tinggi, katanya kalau tingkat infeksinya makin tinggi maka tingkat keganasannya turun. Tapi kita juga kan tidak tahu.

 Jadi sampai kapan, tidak tahu juga. Ini gampang deh, kalau saya melihat sendiri saja. Kita pakai masker itu kan lama-lama tidak tahan juga, orang akan cenderung lepas. Sekarang mungkin kita disiplin pakai masker, coba 1-2 bulan lagi tahan enggak?

Jadi perilaku kita berubah, musuh kita juga berubah dalam arti virusnya bermutasi , kebijakan pemerintah juga berubah. Kalau saya bilang akan lebih buruk kok ya pesimis banget, kalau saya bilang lebih baik kok ya terlalu berharap.

Tapi kalau harus losing hope juga tidak. Karena pandemik ini juga membuat akselerasi tren yang sudah ada. Akselerasi tren itu apa? Online dan internasionalisasi. Kita bisa lihat bioskop digantikan Netflix, misalnya.

Jadi waktu kita menjalankan strategi, ini bukan loosing game juga. Tapi bagaimana di masa sulit ini kita bisa resetting the policy berdasarkan tren yang ada. Ini saya rasa yang bisa dilakukan. Jangan kita berharap akan kembali ke normal yang ada sebelum ini, karena tren ini sudah ada tapi dipercepat dengan adanya covid.

Seperti misalnya climate change, tren itu akan tetap ada. Jadi pada waktu sekarang kita membuat infrastruktur. Infrastruktur seperti apa yang harus kita utamakan? Yang climate change friendly atau bukan?

Contoh paling gampang jalan. Jalan itu climate change friendly atau tidak? Pada waktu kita memilih untuk membelanjakan uang, apa memilih membuat jalan atau ke sesuatu yang tren sudah ada? Sumber daya itu kan terbatas.

Kalau melihat yang dilakukan pemerintah sekarang ini apakah tepat? Dalam kondisi sekarang misalnya mencoba mengegolkan omnibus law, dalam kondisi serba darurat kan akan susah untuk dibahas dengan menyeluruh?

Kalau masalah omnibus law, saya katakan lihatlah frame-nya. Kalau menurut saya omnibus law cipta lapangan kerja, maaf ya mungkin saya kontroversial, tapi menurut saya itu perlu. Kenapa karena kalau kita bicara ke depan, gig ekonomi itu sudah tidak akan jalan.

Nanti ke depan, orang itu bekerja dengan perusahaan itu berdasarkan kontrak. Terus terang kebutuhan terhadap manusia itu kan berkurang, sudah ada robot segala macam. Paling-paling kalau perusahaan butuh A dia akan mempekerjakan sementara, setelah pekerjaan itu selesai dikeluarkan. Mempekerjakan yang lain lagi untuk pekerjaan lainnya.

Contoh paling gampang untuk gig ekonomi, ada banyak pekerjaan itu yang berbasis kontrak. Kalau Anda baca buku human resources, sekarang tren lebih gig economy dengan contract based. Kenapa, karena pekerjaan-pekerjaan rutin di perusahaan bisa dikerjakan mesin. Yang dibutuhkan konseptor dan pengambil keputusan. Kalau untuk memasukkan data, processing data itu kan sudah ada sistem. Jadi kebutuhan gig economy ini membutuhkan sistem kerja yang modular, kadang kalau tidak perlu dibuang, ditambahkan yang lain lagi. Kita bisa lagi mempekerjakan dengan long term employment, itu sudah lewat. Oleh karena itu waktu kita mendesain mengenai peraturan tenaga kerja, itu memang harus bisa.

Memang ada rasa insecurity yang akan muncul. Ya masalahnya zamannya sudah berubah, kalau Anda enggak bisa, Anda akan ditinggal. Jadi dalam menyusun kebijakan, kita harus bisa melihat ini, tren yang tidak berubah baik ada covid maupun tidak ada covid, itulah yang harus kita kejar.

Climate change tadi contohnya. Mungkin pemikirannya terlalu maju, tapi kenapa kita tidak kembangkan solar panel sehingga bisa swasembada listrik. Apakah nanti PLN dibutuhkan? Mungkin sudah tidak dibutuhkan lagi. Misalnya ini ya, kita bicara berandai-andai, solar panel itu butuhnya teknologi baterai. Kita kan punya nikel di Morowali bahan baku untuk membuat baterai. Itu kan nyambung.

Jadi harapan saya kebijakan-kebijakan itu dibuat berdasarkan tren dunia. Jadi ada atau tidak ada covid kita melakukan sesuatu yang berguna untuk semua.

Nah ini yang mungkin kalau ada the next black swan itu ya inflasi

Kalau kita bicara pasar finansial, bagaimana perkembangannya di pasar saham dan obligasi?

Saya lebih senang pasar obligasi. Kita lihat suku bunga acuan turun dan kemungkinan akan lebih turun atau sama daripada kemungkinan untuk naik. Kalau kita taruh di deposito sekarang paling 4% dipotong pajak kan sekitar 3,2%. Kalau kita masuk di obligasi 10 tahun sekarang ini 7%.

 Obligasi ini kelihatan lebih baik dibandingkan saham karena tahun ini revenue minus, net income pasti minus. Tahun depan perkiraan pertumbuhan ekonomi naik sekitar 4,8%, inflasi berapa? Bisa jadi 3%-4%? Jadi kemungkinan perusahaan-perusahaan bisa naik belasan persen di tahun depan, tapi labanya masih kecil. Obligasi masih lebih menarik versus saham.

Akan tetapi yang harus diwaspadai itu inflasi. Konsensus semua sudah bilang di dunia itu akan terjadi deflasi atau inflasinya tidak naik. Saya memang lebih suka obligasi, tapi yang harus diwaspadai itu inflasi. Banyak orang yang berpikir there must be a price for everything that they do. Maksudnya yang pemerintah dunia lakukan waktu mencetak uang gila-gilaan. Masa sih inflasi sih enggak naik.

Nah ini yang mungkin kalau ada the next black swan itu ya inflasi. Ya saya percaya obligasi tapi saya akan terus berhati-hati dengan inflasi karena suatu hari akan keluar.

Inflasi itu kan seharusnya berbanding lurus dengan jumlah uang yang dicetak, tapi kenapa sekarang ini tidak terjadi?

Betul. Ini berkaitan dengan pencetakan uang dan juga ketika ekonomi kembali bangkit. Ketika ekonomi naik, apakah kebutuhannya bisa ditutupi oleh demand.

Contoh paling gampang adalah pemblokiran jalan ketika ada covid ini. Kedua dampak dari covid ini terhadap struktur logistik. Misalnya saja saya pengusaha sayur  dari Jawa Tengah suplai ke hotel dan rumah tangga. Sekarang ini kan hotel enggak ada rumah tangganya mungkin bertambah,  tapi itu kan logistiknya berbeda. Ketika terjadi gangguan logistik akan ada dampaknya. Lalu beberapa pengusaha itu juga mungkin sudah mau bangkrut, ada beberapa teman saya juga sudah mau bangkrut, karena working capital segala macam. Itu kan akan ada dampaknya.

Memang konsensus bersama akan ada deflasi, karena permintaannya berkurang dan suplainya tetap maka harga akan turun. Asumsi suplai akan tetap, tapi apakah mereka akan tetap ada? Kita tidak tahu.

Ini semua kan ada economic of scale, ketika economic of scale-nya turun harga akan naik. Ketika jumlah permintaan turun kan belum tentu harganya tetap kan? Suplai-nya juga kan akan menyesuaikan. Entah karena permintaan turun, entah karena kebangkrutan entah karena logistiknya berubah itu bisa disruption. Disruption itu maksudnya bisa inflasi.

In semua tergantung dari perilaku orang menghadapi covid juga sih. Misalnya saja saya pengusaha yang mengambil suplai daging dari perusahaan di Amerika. Melihat ini kadang stop kadang enggak, saya kan harus menyiapkan cadangannya kan. Mengantisipasi ketidakpastian ini kan berarti ada kenaikan harga, karena biasanya saya order 1 ini saya buat jadi 1,5. Tapi ketika saya dapat 1,5 saya juga bingung. Jadi disrupsi dari logistik ini yang kita juga tidak tahu.

 Lalu kan ada trade war antara China dan Amerika. Berarti saya harus membuat pabrik di negara sendiri, karena tidak mau terlalu bergantung dengan China kalau tiba-tiba mereka menyetop suplai.  Seperti contohnya APD. Berarti saya harus bikin sendiri, tapi pada waktu saya bikin sendiri economic of scale-nya kan enggak sampai. Kita tidak tahu dampak seperti ini semua akan seperti apa.

Kenapa asing banyak keluar dan belum masuk-masuk lagi ya, karena asing-asing itu bingung harus beli apa.

Apa saran Anda untuk para investor di kondisi sekarang ini?

Ini tergantung investor apa, kita lihat investor ritel tetap masuk di pasar saham. Tapi kalau kita katakan pasar saham ini kenapa asing banyak keluar dan belum masuk-masuk lagi ya, karena asing-asing itu bingung harus beli apa.

Mau  beli sektor perbankan sudah punya. Kalau bicara sektor-sektor yang lain, pilihannya enggak banyak. Makanya kenapa ketika ada tren pergerakan jangka panjangnya naik, itu kan sebenarnya karena perusahaan-perusahaan internet. Kita enggak ada.

Ketika bicara perbankan, ngapain masuk lebih banyak  lagi? Tahun ini masih susah, tahun depan juga masih belum tentu kita lihat saja. Tahun ini kan mereka harus restrukturisasi, ketika bayar betulan apakah bisa atau enggak?

Jadi ini yang menyebabkan pasar saham kita susah naik. Sementara di negara lain naik-naik terus karena banyak perusahaan berbasis internet, makanya keluar dari Indonesia ditaruh di luar. Jadi turun terus bukan karena kita jelek sekali tapi komparatif dengan yang di luar kita jadi kurang bagus.

Di China itu banyak perusahaan-perusahaan variasinya banyak sekali. Anda boleh meragukannya, tapi variasinya mereka luar biasa banyak sekali. Ada online insurance, Alibaba juga pertumbuhannya bagus.

Makanya kabarnya IDX akan membuat papan pengembangan baru di mana isinya saham-saham internet. Saya bilang daripada spekulasi saham-saham aneh dan gorengan. Ini kan ada gorengan baru perusahaan-perusahaan internet, paling tidak kan ada dasarnya dan harapannya. Memang ada yang berhasil ada tidak, tapi paling tidak Anda tahu kalau berhasil ada dasarnya. Jangan main saham-saham enggak jelas, fundamentalnya juga gak jelas yang pasti arahnya jebol.

Katanya di IDX mau ada dan itu sangat bagus, kerena itu memberikan alternatif untuk Indonesia.

Ini maksudnya perusahaan teknologi yang besar-besar seperti Gojek, Tokopedia?

Enggak usah. Apa misalnya Bibit, Ruang Guru atau misalnya Sayurbox. Kan bisa. Ada juga Apps yang menghubungkan warung-warung padang, pada dasarnya dia membantu sisi suplai dan membantu juga sistem cash flow –nya juga. Ya yang seperti ini kan lebih mendingan kan, daripada saham-saham ya enggak usah saya sebutkan deh.

 Kalau itu ada market kita akan bagus. Kalau market kita isinya ini-ini saja tidak akan bergerak karena pilihannya enggak banyak.

Kalau misalnya untuk saham di sini kan sudah susah pilihannya. Tapi kan ada reksadana global syariah untuk pasar-pasar luar negeri?

Iya kita di Eastspring kan baru launch juga reksadana global syariah Greater China. Itu juga makanya kita bilang ke klien kombinasikan ada asingnya ada Indonesianya, kita gabungkan jadi satu. Ya gabungkan saja.

Makanya sekarang-sekarang saya lebih banyak melakukan pendekatan multi aset, di mana kalau kita investasi tidak ke satu reksadana di satu asset class. Anda takut nih saham volatilitasnya atau mungkin ekonomi, Anda masukan obligasi. Obligasi yang bagus. Anda masukan juga asing karena ada saham-saham internet lalu terus gabungkan lagi yang saham Indonesia.  Ya kan kita tidak tahu kalau misalnya kebijakan yang diambil kayak omnibus law mau jalan, kan Indonesia juga bisa bagus. Karena Indonesia itu kalau dilihat dari GDP yang minusnya paling sedikit itu kita. Jadi artinya kita itu tidak semuanya jelek lah ada bagusnya juga.

Kalau saya pikir sudah saatnya ya kita itu berpikirnya multi aset. Jangan berpikir oke hari ini saya pilih ke obligasi, Besok saya pilih saham. Zamannya ini berubah, Anda berpikirnya jangan satu-satu dikombinasikan saja.

Kalau ditanyakan kalau ada perang dagang bagaimana? Ya sudah beli satu reksadana global yang investasi di pasar Amerika. Lalu beli juga yang reksadana yang investasi di greater China, berarti banyak investasi di China. Ya gabung saja beli 50:50. Kalau Amerika menang yang Amerika naik, kalau China yang menang China naik. Kalau misalnya dua-duanya sepakat, dua-duanya naik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×