Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi virus corona rupanya memberi dampak yang cukup besar terhadap pasar obligasi korporasi. Pasalnya, semenjak adanya pandemi, risk appetite investor terhadap obligasi korporasi pun mengalami penurunan. Hal ini berujung pada mengecilnya nilai penerbitan obligasi korporasi.
Hingga 15 Desember 2020, jumlah penerbitan obligasi korporasi di Indonesia hanya sebesar Rp 94,60 triliun. Padahal, sepanjang 2019 lalu, jumlah penerbitan obligasi korporasi mencapai Rp 130,67 triliun.
Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra mengungkapkan, tak hanya dari jumlah penerbitan yang mengalami penurunan, dari segi outstanding surat utang korporasi pada tahun ini pun juga mengalami penurunan. Per 30 November 2020, total outstanding obligasi korporasi mencapai Rp 455,39 triliun. Sementara pada tahun sebelumnya total outstanding mencapai Rp 474,46 triliun.
“Pada tahun ini, lebih banyak obligasi korporasi yang sudah jatuh tempo dan dilunasi ketimbang diterbitkan. Hal ini pada akhirnya membuat total outstanding obligasi korporasi mengalami penurunan,” kata Salyadi dalam Media Forum Pefindo secara virtual, Kamis (17/12).
Baca Juga: Ini alasan penerbitan obligasi korporasi di 2021 lebih tinggi dari tahun ini
Walaupun dari jumlah penerbitan justru turun, jumlah perusahaan yang menerbitkan obligasi korporasi malah mengalami peningkatan. Per 30 November 2020 tercatat ada 59 perusahaan yang menerbitkan, jauh lebih tinggi dibanding periode sama pada tahun lalu yang hanya 54 perusahaan.
Salyadi mengatakan, ini merupakan pertanda bagus karena mengindikasikan semakin banyak perusahaan yang melihat obligasi korporasi sebagai cara pendanaan dan turut mengembangkan pasar obligasi korporasi.
Lebih lanjut, pada tahun ini Salyadi menemukan tren baru seiring dengan adanya pandemi, yakni untuk pertama kalinya sektor institusi non-keuangan dari segi penerbitan obligasi korporasi jauh lebih besar dari institusi keuangan. Hingga November 2020, nilai penerbitan institusi non-keuangan sebesar Rp 44,56 triliun (52,8%), lebih tinggi dibanding institusi keuangan yang hanya Rp 39,89 triliun (47,2%)
“Biasanya sektor perbankan terbitkan obligasi subdebt untuk meningkatkan capital adequacy ratio (CAR) mereka, namun selama pandemi ini kebutuhan untuk subdebt justru kecil seiring CAR mereka yang kuat. Di satu sisi multifinance juga turun seiring pembiayaan pinjaman yang terbatas selama pandemi,” jelas Salyadi.
Sebagai informasi, hingga 30 November 2020, penerbitan obligasi korporasi dari perbankan hanya sebesar Rp 7,89 triliun, turun dari Rp 24,29 triliun sepanjang 2019. Sedangkan penerbitan obligasi korporasi dari multifinance hanya Rp 14,02 triliun, turun dari Rp 26,42 triliun pada 2019.
Baca Juga: Ini penyebab penerbitan obligasi korporasi di tahun 2020 menyusut
Sementara itu, selama pandemi, tren penerbitan obligasi korporasi dari sisi tenor juga mengalami perubahan dibanding 2019. Tercatat, pertumbuhan obligasi korporasi bertenor 3 tahun mengalami penurunan dari 41,7% menjadi 35,6%. Begitupun dengan yang tenor 5 tahun, turun dari 25,7% menjadi 17,4%. Namun, untuk obligasi korporasi dengan tenor 1 tahun justru naik dari 18,4% menjadi 29,7%.
“Ini artinya, baik penerbit maupun investor, investment horizon-nya selama pandemi jadi lebih pendek. Dari sisi penerbit, dengan kondisi saat ini, mereka khawatir kalau menerbitkan tenor yang 3 tahun dan 5 tahun dari segi kupon terlalu tinggi dan membuat ongkos mahal. Sementara dari investor, mereka tahu dengan tren suku bunga yang rendah di tahun ini, tahun depan (mereka) punya peluang dapatkan return yang lebih bagus, dibanding mereka ambil jangka panjang sekarang,” ujar Salyadi.
Sementara dari sisi kupon obligasi korporasi, Salyadi menyebut, pada tahun ini secara rata-rata memang mengalami penurunan. Hal ini seiring dengan suku bunga acuan Bank Indonesia yang lebih rendah dan yield obligasi pemerintah yang terus turun.
Adapun untuk tingkat gagal bayar (default), Salyadi menyebutkan, pada tahun ini terjadi sedikit peningkatan, khususnya pada institusi non-finansial yang naik dari 2,18% menjadi 2,34%. Namun, angka tersebut masih lebih rendah dibanding 2018 yang sebesar 2,56%. Sementara untuk institusi finansial, pada tahun ini justru turun menjadi 0,10% dari sebelumnya 0,11%.
“Kalau berdasarkan ratingnya, untuk AAA sampai dengan 2020 belum pernah ada gagal bayar. Sementara untuk rating AA dan A pada tahun ini masing-masing turun menjadi 0,34% dan 2,74%. Adapun untuk tingkat gagal bayar rating BBB naik menjadi 6,92% pada tahun ini,” imbuh Salyadi.
Selanjutnya: Ada 101 penerbitan surat utang selama 2020, BEI masih kantongi 12 emisi di pipeline
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News