Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Bisnis penyedia menara telekomunikasi masih akan tumbuh pada tahun ini, meski persaingan makin ketat. PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) menyiapkan belanja modal Rp 1 triliun hingga Rp 2 triliun untuk menambah 3.000 menara.
Hingga kuartal tiga 2016 lalu, TBIG memiliki 21.562 penyewaan dan 13.463 site telekomunikasi. Dengan angka total penyewaan pada menara telekomunikasi sebanyak 20.566, maka rasio kolokasi (tenancy ratio) TBIG menjadi 1,65. Pada periode itu, TBIG menambah 1.137 site dan 1.837 penyewaan.
TBIG pun masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan positif menjadi Rp 2,7 triliun, dari periode yang sama tahun lalu Rp 2,5 triliun. Laba bersih TBIG Rp 938 miliar dari sebelumnya Rp 652 miliar.
Analis NH Korindo Sekuritas Arnold Sampeliling mengatakan, pencapaian TBIG di kuartal tiga cukup agresif. Ia memperkirakan, di akhir tahun 2016, TBIG akan bisa meningkatkan rata-rata rasio kolokasi menjadi 1,68 dari sebelumnya 1,65.
Pertumbuhan industri komunikasi, yang sejalan dengan pengembangan infrastruktur pemerintah dan pertumbuhan bisnis data, akan mendorong pertumbuhan bisnis TBIG. "Ekspansi jaringan dari emiten telekomunikasi akan menjadi pendorong bisnis TBIG," ujar Arnold dalam riset, 23 Januari 2017.
David Sutyanto, Analis First Asia Capital, mengatakan, di antara emiten menara telekomunikasi lain, TBIG memiliki profil keuangan yang paling kuat, dengan pasar yang besar. Sehingga, TBIG berpotensi melanjutkan pertumbuhan pada tahun ini. "Bisnis emiten menara akan sejalan dengan bisnis telekomunikasi, yang diperkirakan masih tumbuh single digit, sekitar 8%," imbuh David.
Di sisi lain, TBIG juga masih memiliki beberapa risiko. David mengatakan, kinerja TBIG cukup banyak terpengaruh kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. "Tahun ini, volatilitas rupiah terhadap dollar AS akan lebih besar, karena ada ketidakpastian global," ujar David.
Upaya TBIG melakukan lindung nilai alias hedging akan cukup membantu mengamankan gejolak nilai tukar. Meskipun TBIG terus ekspansif membangun menara dan meningkatkan penyewaan, leverage TBIG stabil di level 5 kali, masih di bawah batas perjanjian obligasi untuk tidak lebih dari 6,25 kali dari total pinjaman.
Di sisi lain, adanya rencana regulasi berbagi jaringan (network sharing) akan menjadi risiko tersendiri bagi TBIG. Menurut Arnold, rencana ini berpotensi menurunkan pengeluaran sewa menara dari operator.
Meski demikian, Arnold menilai pendapatan TBIG tahun ini masih bisa meningkat 8,4% menjadi Rp 4 triliun, dari proyeksi 2016 sebesar Rp 3,7 triliun. Laba TBIG diperkirakan stagnan Rp 1,1 triliun.
Karena ekspansi yang masih agresif, Arnold merekomendasikan buy saham TBIG dengan target harga Rp 6.050 per saham. Harga saham ini mencerminkan EV/EBITDA sebesar 14,3 kali. Saat ini, saham TBIG ditransaksikan dengan forward EV/EBITDA sebesar 13,6 kali.
David merekomendasikan speculative buy saham TBIG dengan target harga Rp 6.000 per saham. Lucky Bayu Purnomo, Analis Danareksa Sekuritas, merekomendasikan buy dengan target harga wajar Rp 6.700 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News