Reporter: Nur Qolbi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,53% ke level 6.616,03 pada perdagangan Senin (15/11). Pelemahan ini melanjutkan koreksi 0,60% di perdagangan akhir pekan lalu. Padahal, pada awal perdagangan Jumat (12/11), IHSG sempat bergerak naik hingga menyentuh level 6.710,85.
Kepala Riset FAC Sekuritas Indonesia Wisnu Prambudi Wibowo mengatakan, ada tiga faktor yang memberatkan pergerakan IHSG belakangan ini.
Pertama, rencana tapering off atau pengurangan pembelian obligasi oleh bank sentral Amerika Serikat yang akan dimulai pada akhir November 2021. Hal ini membuat pelaku pasar cenderung berhati-hati, terutama mendekati akhir bulan ini.
Kedua, adanya mutasi varian Covid-19 di sejumlah negara, seperti Jerman yang mencatatkan adanya peningkatan kasus baru Covid-19. Ketiga, penurunan harga komoditas yang sebelumnya sempat naik cukup tinggi.
"Di saat yang sama, belum ada katalis-katalis positif dari makro-ekonomi yang dapat mendorong kenaikan IHSG," ucap Wisnu saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (15/11).
Baca Juga: IHSG diramal lanjutkan pelemahan pada Selasa (16/11), cermati saham-saham ini
Wisnu melihat, pergerakan IHSG sampai dengan akhir bulan November 2021 belum akan terlalu atraktif, bahkan cenderung melemah. Ia memperkirakan, level 6.400-6.500 akan menjadi suport IHSG berikutnya.
Wisnu memprediksi, pergerakan IHSG bakal lebih kencang pada bulan Desember 2021, terutama pada minggu ketiga dan minggu keempat. Sentimen pendorongnya adalah aksi window dressing para pelaku pasar.
Menurut dia, secara historis dalam lima tahun terakhir, IHSG cenderung mencatatkan kenaikan pada akhir tahun. Di pengujung tahun 2021, Wisnu memprediksi IHSG bisa bullish hingga ke level 6.800-7.000.
Pada bulan November 2021 ini, pergerakan saham-saham second liner dianggap lebih menarik dibanding saham-saham blue chip yang sudah reli pada Oktober 2021. Hal ini seiring dengan banyaknya aksi korporasi, terutama pada emiten perbankan BUKU II dan BUKU III yang menawarkan potensi upside yang lumayan.
Meskipun begitu, saham-saham blue chip cukup menarik untuk dilirik apabila pelaku pasar ingin menahannya hingga akhir tahun. Sentimen window dressing diyakini akan menjadi sentimen positif bagi saham-saham blue chip.
"Jadi, kalau saham blue chip turun terus, maka bisa jadi momentum untuk akumulasi," ucap Wisnu. Menurut dia, saham TLKM, BBNI, dan PGAS merupakan contoh saham blue chip yang selalu mencatatkan kenaikan pada akhir tahun.
Selanjutnya: Pembangkit listrik fosil dominasi emisi sektor energi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News