Reporter: Benedicta Prima | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menyusul surat edaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal relaksasi buyback saham tanpa perlu RUPS, Kementerian BUMN segera berkoordinasi dengan 12 emiten pelat merah.
Dari hasil koordinasi tersebut, sebanyak 12 emiten pelat merah di sektor perbankan, infrastruktur dan pertambangan bakal melakukan buyback dengan nilai total mencapai Rp 7 triliun - Rp 8 triliun.
Surat edaran tersebut dikeluarkan OJK lantaran secara kumulatif IHSG turun signifikan sejalan dengan merebaknya kasus virus corona.
Baca Juga: Kalbe Farma (KLBF) & Intiland Development (DILD) pertimbangkan relaksasi buyback
Melihat kondisi tersebut, Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan, investor perlu tetap berhati-hati dengan mengamati situasi perekonomian global. Selain itu, investor juga perlu memahami bahwa buyback bukan merupakan upaya untuk menaikkan harga saham.
"Buyback itu komunikasi emiten bahwa prospek emiten tersebut ke depan masih cukup bagus sehingga harga hari ini tidak mencerminkan fundamental," jelas Alfred kepada Kontan, Selasa (10/3).
Namun, buyback memang diperlukan pada saat ini untuk mempersempit ruang penurunan pasar di tengah situasi yang tidak pasti. Apalagi, kata Alfred, indeks BUMN20 menyumbang sekitar 25% dari total kapitalisasi pasar.
Baca Juga: Simak kemampuan keuangan lima emiten konstruksi BUMN yang akan lakukan buyback
Sehingga bila penurunan yang signifikan dari saham-saham BUMN bisa teredam, maka IHSG pun demikian. Ini juga menandakan bahwa pasar masih berpotensi mengalami penurunan.
"Kalau makro masih berat, ya tidak bisa buyback menjadi pertimbangan utama untuk berinvestasi. Artinya kalau makro seperti ini terus, ini (buyback) tidak bisa mengangkat harga saham," jelas dia.
Baca Juga: Mengukur kesiapan dana Bukit Asam (PTBA) untuk melakukan buyback saham
Lebih lanjut, dalam hal emiten ingin memanfaatkan relaksasi buyback maka harus memperhatikan dua hal. Pertama, emiten harus memiliki kas yang cukup untuk operasional dalam 3-6 bulan ke depan. Kedua, dana untuk buyback sebaiknya tidak berasal dari utang.
"Jadi ketika mereka memutuskan buyback dan saat bersamaan ketika harus buyback mereka menambah pinjaman, itu yang kurang pas," imbuh Alfred.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News