kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sell in May and Go Away di reksadana saham


Jumat, 19 Mei 2017 / 18:20 WIB
Sell in May and Go Away di reksadana saham


Reporter: Olfi Fitri Hasanah | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Memasuki bulan Mei, fenomena “Sell in May and Go Away” cukup menyita perhatian para pelaku pasar. Namun, benarkah fenomena tersebut merupakan tren yang diyakini kalangan investor atau sekadar mitos belaka?

Berdasarkan data Infovesta Utama per 28 April 2017, total dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) jenis reksadana saham satu-satunya yang mencatatkan tren penurunan sejak awal tahun.

Bulan lalu, penurunan sebesar Rp 2,98 triliun menahan AUM di nominal Rp 113,75 triliun. Angka tersebut menunjukkan pengurangan Rp 4,3 triliun atau setara dengan 3,64% secara year to date (ytd).

Direktur Avrist Asset Management Hanif Mantiq menilai sebenarnya tidak banyak investor yang memutuskan untuk menjual portofolio sepanjang tahun ini, terutama memasuki bulan Mei. Sehingga, ia menilai tidak ada relevansi "Sell in May and Go Away" dengan penurunan AUM reksadana saham di tahun 2017.

Ia malah melihat, di pasar saham, tren net buy terbilang tinggi. Berdasarkan pengamatannya, investor reksadana dengan portofolio saham hingga saat ini cukup percaya diri untuk tidak melakukan aksi ambil untung.

Akan tetapi, ia tidak menampik terjadinya penurunan dana kelolaan reksadana saham yang diperkirakan imbas pembagian dividen. Sedangkan, arus penjualan cukup marak dapat dilihat di portofolio obligasi dan itu pun belum signifikan.

Menengok data AUM Avrist Asset Management, terjadi tren kenaikan sejak awal tahun. Memasuki kuartal II-2017, AUM melonjak 29,36% menjadi Rp 1,41 triliun dari sebelumnya Rp 1,09 triliun.

Menurut Hanif, fenomena “Sell in May and Go Away” hanyalah sebuah kebetulan. Memasuki bulan Mei, bertepatan dengan momen tahunan di mana terjadi penurunan beberapa indikator di pasar. “Sering kebetulan pas momentumnya. Jadi bisa dibilang benar, tapi probabilitasnya tidak 100%, hanya sekitar 60%-70% saja,” jelasnya.

Terlepas dari fenomena tersebut, Hanif tetap lebih senang untuk merujuk pada rupiah sebagai indikator pasar. Ia memperkirakan, sepanjang tahun 2017 ini kinerja pasar cenderung positif, meskipun tidak setinggi tahun lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×