Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar saham tanah air masih mengalami gejolak, sehingga berpotensi membuat produk-produk investasi berbasis saham mengalami penurunan.
Direktur Utama Mandiri Manajemen Investasi Alvin Pattisahusiwa mengatakan, gejolak pasar saham yang terjadi belakangan ini merupakan akumulasi dari sentimen negatif yang berasal dari dalam dan luar negeri.
Dari luar negeri, ancaman datang dari konflik perang dagang antara AS dan negara-negara besar lainnya, seperti China. Salah satu konsekuensi dari konflik tersebut adalah China menurunkan nilai tukar mata uangnya untuk membuat produk-produknya lebih kompetitif.
Hasilnya, negara lain mau tidak mau melakukan penyesuaian. “Dampaknya yang dirasakan Indonesia adalah penurunan kurs rupiah,” tutur Alvin, Jumat (29/6).
Selain itu, sentimen lain hadir dari membaiknya pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat yang bisa memicu inflasi yang lebih tinggi. Imbasnya, The Fed menerapkan kebijakan suku bunga acuan yang lebih agresif.
Sebagai bentuk penyesuaian, kebijakan yang sama bisa saja dilakukan oleh BI. Padahal, kenaikan suku bunga acuan yang berlebihan dapat mengganggu laju pertumbuhan ekonomi.
Dari dalam negeri, tren pelemahan rupiah memicu keluarnya dana asing dari pasar saham Indonesia ke negara-negara lain, terutama AS dan Eropa yang mulai memasuki fase pemulihan ekonomi. “Investor asing juga pindah ke negara yang memiliki neraca perdagangan yang positif,” tambahnya.
Kendati demikian, Alvin masih optimistis pasar modal Indonesia dapat segera pulih di sisa tahun ini sehingga iklim investasi Indonesia kembali menarik. “Kami percaya fundamental ekonomi Indonesia masih sangat baik dan memiliki kecenderungan untuk lebih baik dalam beberapa tahun mendatang,” ujarnya.
Ia pun menilai, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih bisa tumbuh di kisaran 6.500—6.600 pada akhir tahun ini. kenaikan suku bunga acuan membuat instrumen deposito dan reksadana pasar uang cukup menarik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News