Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Hampir setiap hari rupiah menemukan level pelemahan terbarunya. Tadi pagi, rupiah menyentuh level Rp11.600 per dolar AS. Pelemahan mata uang Garuda hari ini berada di posisi terbawah pelemahan mata uang Asia lainnya.
Bahkan, rupiah berada di level terendah dalam 4 tahun. Lukman Leong, Chief Analyst dari Platon Niaga Berjangka, memperkirakan, rupiah memiliki potensi melemah ke level Rp12.000 per dolar AS. "Kembali faktor internal yang lebih banyak berperan, setelah data pada hari Senin kurang memberikan insentif pada pasar," imbuhnya, (5/9).
Di sisi lain, keputusan Amerika Serikat (AS) untuk perang di Suriah dimanfaatkan investor lokal untuk membeli dolar AS (USD) dan melepas rupiah. Padahal, kalau dicermati, posisi USD terhadap mata uang dunia cukup beragam dan malah cenderung datar terhadap beberapa mata uang utama dunia.
USD index (DXY) berada pada posisi 82.31 melemah 0.07% dibanding hari Selasa dan hanya bergerak dalam rentang 1% dalam sebulan terakhir. Atas dasar inilah, Lukman memperkirakan, jangka pendek rupiah akan tertekan faktor kekhawatiran di Suriah dan keputusan soal stimulus ekonomi AS.
Namun, tegas Lukman, tetap saja faktor dominan berasal dari internal, yaitu inflasi dan defisit transaksi berjalan. Akan tetapi, ada harapan bagi rupiah di jangka menengah atau panjang. “Karena nanti tekanan inflasi mulai reda, terutama yang disebabkan pengurangan subsidi BBM, Lebaran serta awal tahun ajaran baru,” tambahnya.
Selain itu, defisit perdagangan diproyeksikan Lukman akan menyempit, karena berkurangnya permintaan impor minyak. Namun, beberapa pekan ke depan rupiah akan melewati masa krusial. Sebab, akan ada Federal Open Market Committee (FOMC) pada 17-18 September dan juga Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDGI) di Bank Indonesia.
Lukman berharap, BI bisa melakukan yang terbaik dalam mengantisipasi FOMC guna mengurangi sentimen buruk dengan cara melakukan tindakan preventif. Bagi Lukman, sikap yang bisa dipilih BI adalah dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25-50 basis poin lagi.
Dia menilai, kenaikan BI rate kesekian kalinya masih relevan dengan tingkat inflasi saat ini. Namun, jika tekanan terhadap rupiah, inflasi dan sentimen negatif mulai berkurang, BI diharapkan bisa menurunkan BI rate segera.
"Harus diakui jika otoritas keuangan telah kalah dan lengah dalam mengantisipasi situasi (inflasi) yang terjadi saat ini,” kata Lukman. Ia menilai, butuh kebijakan radikal agar rupiah bisa turun lagi atau mencapai titik keseimbangan baru di level 10.000 di akhir tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News