Reporter: Aris Nurjani | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan imbal hasil US treasury membuat pasar obligasi Indonesia ke depannya masih akan tertekan.
Dimana Yield Treasury tenor 2 tahun, naik 6,2 basis point (bps) menjadi 4,31% dari sebelumnya 4,25%. Sedangkan yield Treasury tenor 10 tahun meningkat 6,4 bps menjadi 3,88%.
Senior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Division, Henan Putihrai Asset Management (HP Asset Management) Reza Fahmi Riawan mengatakan untuk saat ini, ia masih melihat US treasury masih akan mengalami kenaikan.
"The Fed masih berencana menaikkan The Fed rate hingga ke level 4.75% sebagai reaksi atas kenaikan inflasi yg mencapai di atas 8,0%," jelas Reza kepada Kontan.co.id, Rabu (12/10).
Baca Juga: Inflasi Tak Kunjung Melambat, The Fed Tetap Agresif Kerek Suku Bunga hingga 2023
Dengan ekspektasi kenaikan tersebut, Reza mengatakan strategi yang menjadi pilihan untuk instrument hutang berbasis dolar adalah defensive dengan memilih obligasi dengan tenor pendek atau pada instrumen pasar uang berbasis dolar (kas dan setara kas, termasuk deposito).
Namun pada satu sisi, kenaikan the Fed diiringi dengan kenaikan kurva imbal hasil (yield curve) obligasi berbasis dolar semua tenor, sehingga membuka yield obligasi menjadi menarik.
Reza menyarankan investor mungkin bisa berinvestasi pada 20% saham, 60% pasar uang dan 20% Efek hutang.
Kenaikan US treasury memperkecil yield spread dengan SUN. US treasury 10 year sekarang berada pada level 3,8% sedangkan SUN 10 year masih berada pada level 7,4%, atau spread sebesar 360 bps lebih kecil dibandingkan awal tahun US treasury masih berada pada level 1,5% dan SUN 10 year berada pada level 6,4% atau spread sebesar 490bps.
Baca Juga: Proyeksi Rupiah Hari ini, Selasa (11/10), Bakal Loyo Lagi?
Reza melihat prospek SUN ke depannya menjadi kurang diminati akibat tekanan di pasar global masih bertahan seiring meningkatnya kekhawatiran investor terhadap potensi pelambatan ekonomi.
International Monetary Fund (IMF) mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi global di level 3,2% di tahun 2022, namun menurunkan proyeksinya untuk tahun 2023 ke level 2.7% dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,9%.
IMF juga memperkirakan inflasi global akan mencapai 8,8% di tahun 2022, sebelum menurun ke level 6,5% di tahun 2023, dan 4,1% di tahun 2024.
Sementara itu, tren kenaikan yield US Treasury masih berlanjut pada perdagangan semalam setelah Bank of England menyatakan akan mengakhiri program pembelian obligasinya pekan ini, menutup spekulasi bahwa program ini akan berlanjut.
Reza mengatakan investor juga masih cenderung menunggu data inflasi AS yang dapat memberikan sinyal agresifitas the Federal Reserve dalam menaikkan suku bunga acuannya ke depan.
Baca Juga: Meski Tergelincir ke Bawah US$ 1.700, Harga Emas Menguat di Pekan Ini
Sementara, tingkat permintaan untuk SUN pada lelang mengalami penurunan. Per lelang yang dilakukan pemerintah terakhir, jumlah permintaan yang masuk sebesar 15 triliun.
"Hal ini sejalan dengan kenaikan CDS ke level 160an dan rupiah yang mengalami pelemahan hingga ke level Rp 15.300 per dollar," tuturnya.
Reza melihat pada saat ini sentimen masih berdasarkan kenaikan inflasi, kenaikan tingkat suku bunga, dan pelemahan Rupiah atas dollar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News