Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pasar Surat Utang Negara (SUN) atau obligasi negara terus mengalami tekanan. Data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) menunjukkan, effective yield index obligasi pemerintah naik 0,07% menjadi 7,85% pada perdagangan Rabu (10/7) dibandingkan perdagangan hari sebelumnya yang berada di level 7,77%.
Selain itu, data yang sama memperlihatkan, tekanan terhadap pasar obligasi negara juga tercermin dari penurunan harga obligasi yang ditunjukkan oleh clean price index sebesar 0,51% menjadi 114.852 (10/7) dibandingkan hari sebelumnya yang sebesar 115.362. Selain itu, return obligasi juga mengalami penurunan sebesar 0,71% dibandingkan perdagangan sebelumnya.
Di sisi lain, SUN seri acuan atau benchmark mengalami pergerakan yang variatif. Seri FR0066 bertenor lima tahun, misalnya, mengalami kenaikan yield dari 6,9% menjadi 7,2%. Harga instrumen ini turun menjadi 92.023 dibandingkan perdagangan sebelumnya yang di level 93.000.
Analis NC Securities I Made Adi Saputra mengungkapkan, faktor utama kenaikan yield obligasi negara saat ini dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berimbas langsung kepada inflasi. Kondisi itu yang selanjutnya mempengaruhi besaran BI Rate. Hal ini yang kemudian membuat harga SUN semakin murah.
“Nah, kenaikan harga BBM ini diantisipasi oleh investor dan melakukan adjustment pada yield obligasi,” jelas Made. Selain itu, lanjutnya, dana penerbitan SUN yang dimiliki pemerintah masih besar. Dengan rencana pemerintah untuk menambah penerbitan obligasi, membuat suplai obligasi di pasar primer menjadi banyak.
Menurut Made, tingkat yield obligasi yang ditawarkan pemerintah akan tinggi mengingat ancaman kenaikan inflasi, yang diperkirakan akan mencapai angka 7,2%-8%. Ditambah lagi, kondisi makro ekonomi Indonesia juga belum membaik seiring defisit neraca perdagangan yang kian membengkak. “Satu lagi, tidak adanya stabilitas nilai tukar rupiah membuat investor meminta yield yang tinggi,” imbuh Made.
Yield masih akan naik
Tidak hanya dari kondisi internal, pasar obligasi negara juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Made menjelaskan, faktor pendorong eksternal kenaikan yield SUN adalah langkah bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve yang berencana mengurangi quantitative easing (QE). Kondisi itu mendorong investor asing menarik dana investasinya dari negara-negara emerging market, untuk mengamankan likuiditas.
Menurut Made, yield obligasi pada semester II ini masih akan cenderung naik. Langkah antisipatif yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan menjaga nilai tukar rupiah oleh BI.
Hal tersebut diamini oleh analis Trust Securities Reza Priyambada. Dia mengungkapkan, kurang kondusifnya sentimen yang ada berimbas negatif pada pasar obligasi yang pada akhirnya mendorong pelaku pasar melakukan aksi jual. Hal ini mengakibatkan harga obligasi banyak yang mengalami pelemahan.
Reza menambahkan, penurunan proyeksi ekonomi Indonesia dari bank dunia dan penurunan valuasi pasar modal oleh Morgan Stanley juga semakin menambah sentimen negatif di pasar obligasi.
"Kemungkinan pelaku pasar masih akan mencermati sentimen yang ada dengan mengambil posisi wait and see sementara waktu. Pelaku pasar juga akan mencermati laju pergerakan rupiah di mana pelaku pasar akan menghindari aset-aset yang dinilai lebih tinggi risikonya serta rilis data-data global," ujar Reza.
Reza memprediksi, obligasi jangka pendek masih akan menjadi pilihan investor di semester II. Selain itu, pelaku pasar juga akan mencermati lelang obligasi negara seri Sukuk yang akan di lelang, yaitu PBS jangka waktu pendek hingga 2014 dan jangka panjang hingga 2043 untuk seri PBS001 (reopening), PBS003 (reopening), PBS005 (reopening), PBS004 (reopening), serta Sukuk Negara dengan seri SPN-S 10012014 (new issuance).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News