CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.675   65,00   0,41%
  • IDX 7.287   43,33   0,60%
  • KOMPAS100 1.121   3,73   0,33%
  • LQ45 884   -2,86   -0,32%
  • ISSI 222   1,85   0,84%
  • IDX30 455   -2,30   -0,50%
  • IDXHIDIV20 549   -4,66   -0,84%
  • IDX80 128   0,06   0,05%
  • IDXV30 138   -1,30   -0,94%
  • IDXQ30 152   -0,90   -0,59%

Yield SUN Acuan Melewati 7% di Perdagangan Perdana Pascalibur


Senin, 09 Mei 2022 / 17:46 WIB
Yield SUN Acuan Melewati 7% di Perdagangan Perdana Pascalibur
ILUSTRASI. Harga obligasi melemah walaupun pelaku pasar telah mengantisipasi keputusan Federal Reserve.


Reporter: Aris Nurjani | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada hari pertama perdagangan setelah libur lebaran, harga obligasi melemah walaupun pelaku pasar telah mengantisipasi keputusan Federal Reserve yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada 5 Mei lalu.

Senin (9/5), yield surat utang negara (SUN) acuan tenor 10 tahun seri FR0091 naik ke 7,245% dari posisi 6,967% pada perdagangan terakhir sebelum libur panjang Lebaran, Kamis (28/4). Ini adalah level tertinggi yield seri FR0091 sejak diterbitkan pada 13 Juli 2021. Kenaikan yield ini berarti harga SUN semakin turun.

Head of Fixed Income Bank Negara Indonesia (BNI) Fayadri mengatakan dampak agresivitas The Fed baru dirasakan oleh pasar obligasi Indonesia pada hari ini yang merupakan hari pertama perdagangan setelah libur lebaran.

Baca Juga: Obligasi Indonesia Semakin Tertekan Setelah The Fed Menaikkan Suku Bunga

"Meskipun sebenarnya keputusan The Fed ini sudah diantisipasi para pelaku pasar sejak sebelum libur lebaran, namun pagi ini pelemahan harga obligasi masih berlanjut. Risk aversion investor juga meningkat, hal ini terlihat dari CDS 5 tahun yang sudah menyentuh angka 129,36 yang merupakan angka tertinggi sejak awal tahun ini," kata Fayadri kepada Kontan.co.id, Senin (9/5). 

Di sisi lain porsi kepemilikan asing per tanggal 27 April sudah berada di level 17,11%, turun dibanding posisi per akhir tahun 2021 yang berada di angka 19,05%.

Fayadri mengatakan sejak awal tahun persentase incoming bid dibandingkan dengan target indikatif lelang menunjukkan tren penurunan, baik pada pelaksanaan lelang SUN maupun SBSN. Terlihat investor lebih memilih untuk tidak agresif dan mengambil sikap wait and see

Baca Juga: Pasar Merespons Keputusan The Fed, IHSG Terjun dari Level 7.000

Menurut Fayadri untuk lelang besok belum akan ada perubahan signifikan dari tren yang terjadi saat ini. Tapi dengan dukungan likuditas investor yang masih bagus, terutama perbankan, diperkirakan jumlah penawaran yang masuk masih akan di atas target indikatif.  

Fayadri menyebut, seri SPN tenor 12 bulan diperkirakan masih akan menjadi favorit investor. Besarnya tekanan inflasi dan potensi kenaikan suku bunga lanjutan serta minimnya sentimen positif masih akan membatasi peluang penurunan yield di pasar SUN. 

"Yield SUN 10 tahun masih berpotensi untuk menembus level 7,30%. Spread antara US Treasury 10 tahun dengan SUN tenor 10 tahun diperkirakan masih akan konsisten di kisaran 400 bps-450 bps," ucap Fayadri

Baca Juga: IHSG Terjun 4,42% ke 6.909 pada Senin (9/5), 10 Saham LQ45 Turun Lebih Dari 6%

Data inflasi dalam negeri yang rilis hari ini akan jadi salah satu kunci penentu arah kebijakan suku bunga yang akan diambil oleh BI pada RDG tanggal 24 Mei nanti. 

Fayadri mengungkapkan, tidak berbeda dengan kondisi di pasar global, data inflasi sedang menjadi perhatian utama dan akan menjadi penentu arah kebijakan suku bunga yang selanjutnya akan memberikan dampak terhadap risk appetite investor terhadap pasar obligasi. Menurut Fayadri dibandingkan dengan tingkat inflasi, sebenarnya imbal hasil yang ditawarkan oleh obligasi Indonesia sudah menarik. 

"Namun masih besarnya tekanan inflasi, potensi kenaikan lanjutan suku bunga acuan serta tren pergerakan yield obligasi membuat investor lebih memilih untuk wait and see," kata Fayadri. 

Baca Juga: Terangkat IHSG, Reksadana Saham Berkinerja Paling Apik hingga April

Fayadri mengatakan strategi pengelolaan portofolio sangat tergantung pada risk appetite dari masing-masing investor. Investor yang berani mengambil risiko tinggi demi mendapatkan imbal hasil yang tinggi dapat memilih investasi pada saham atau obligasi. 

"Namun untuk investor yang cenderung tidak mau terpapar risiko tinggi dapat memilih reksadana atau deposito," ucap Fayadri. Sedangkan investor yang ingin masuk ke pasar saham harus lebih jeli dan teliti melihat fundamental dan prospek bisnis emiten.

"Tingginya tekanan inflasi yang mendorong kenaikan suku bunga telah memberikan sentimen negatif terhadap pasar obligasi. Dalam kondisi pasar obligasi saat ini, investor perlu lebih cermat mengamati perkembangan inflasi serta arah kebijakan suku bunga sehingga bisa mendapatkan timing yang tepat untuk mendapatkan yield yang bagus," tutup Fayadri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×