Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yield obligasi selama sepekan terakhir cenderung mengalami peningkatan. Kendati begitu, sudah tiga pekan yield obligasi masih bertahan di bawah 7%.
Senior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Divion Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi Riawan mengatakan, hingga akhir tahun ini pihaknya melihat level government bond bertenor 10 tahun berada pada level 6,8%-7.1%. Angka itu lebih tinggi dibandingkan awal tahun 2022 di level 6,4%.
"Level 6,8%-7,1% adalah level yang cukup menarik bagi investor untuk berinvestasi di obligasi pemerintah melihat fundamental Indonesia yang lebih baik dibandingkan negara-negara di regional," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (9/12).
Untuk tahun depan, Reza juga memperkirakan pergerakan indeks obligasi masih berpotensi memberi kinerja yang baik. Pihaknya melihat tingkat suku bunga masih akan mengalami kenaikan hingga kuartal I 2022, lalu akan berpotensi flat hingga kuartal III 2023.
Baca Juga: Schroders Indonesia Rilis Studi tentang Cara Investor Hadapi Kondisi Sulit
Adapun sentimen di tahun depan masih berputar di sekitar kebijakan Bank Indonesia atas kenaikan tingkat suku bunga. Sebab diperkirakan masih akan berlanjut hingga level 5,25%-5.50%. Selain itu, fluktuasi pada mata uang yang berflukutasi pada level US$ 15.400 – US$ 15.700.
Dari eksternal, Reza melihat investor masih melihat tingkat inflasi AS yang walaupun dalam tren menurun, namun masih pada level yang cukup tinggi.
"Sehingga tindak lanjut dari the Fed yang masih akan menaikkan FFR masih akan menjadi perhatian pasar," paparnya.
Dari berbagai hal tersebut, Reza menilai investor sebaiknya mulai mencicil beli pada instrumen obligasi. Sebab data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan peningkatan AUM berbasis sukuk pada akhir November 2022 yang paling tinggi dibanding dengan instrumen investasi lainnya.
"Sehingga menjadi peluang yang baik untuk para investor jika ingin berinvestasi di obligasi tahun depan. Untuk melalui reksadana maupun secara langsung bisa di-spread kepada keduanya agar mendapatkan hasil yang maksimal dan melakukan diversifikasi investasi," tambahnya.
Untuk jangka pendek sendiri, Reza berpandangan adanya kesempatan untuk melakukan trading pada level 7,1% - 7,4%, ataupun menyamakan durasi portfolio dengan benchmark. Hal-hal yang perlu dicermati adalah tingkat inflasi AS dan perkembangan kebijakan The Fed atas tingkat suku bunganya dan juga kondisi geopolitik antara Ukraina dan Rusia.
"Dari sisi domestik, tingkat inflasi domestik, kebijakan BI atas GWM, cadangan devisa, dan fluktuasi Rupiah ke depannya," jelasnya.
Di sisi lain, analis DFCX Futures Lukman berpandangan bahwa yield obligasi Indonesia masih berpotensi naik hingga akhir tahun ini. Menurutnya, yield bisa naik di atas 7%, mengingat minggu ini The Fed AS akan kembali menaikkan suku bunga.
Baca Juga: Volatilitas Pasar Modal Berpotensi Lanjut Pada 2023, Perhatikan Sentimen Ini
Untuk tahun depan, yield obligasi negara akan tergantung BI. Lukman memaparkan, tahun depan diperkirakan inflasi akan mereda dan ekonomi akan lebih melamban. Hal tersebut bisa menahan BI dari menaikkan suku bunga lebih lanjut.
Namun tekanan dolar AS pada Rupiah mungkin bisa memaksa BI untuk menaikkannya. Adapun sentimen utama masih dari dolar AS/tingkat suku bunga the Fed, perlambatan ekonomi global, harga energi, serta China zero Covid Policy.
Sedangkan untuk internal, neraca perdagangan/harga komoditas batubara, investasi asing, dan kebijakan BI.
"Yield tahun depan diperkirakan akan di kisaran 9%, jadi belum saat yang tepat untuk masuk karena selama yield masih naik, harga obligasi masih akan turun," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News