Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARta. Koreksi pasar obligasi justru dimanfaatkan manajer investasi untuk menambah koleksi surat utang negara (SUN). Maklum, harga obligasi kian murah, dan yield semakin menarik.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementrian Keuangan mencatat, per 24 Agustus 2015, kepemilikan reksadana pada SUN mencapai Rp 59,04 triliun. Jumlah itu meningkat Rp 690 miliar dibandingkan akhir Juli lalu senilai Rp 58,35 triliun.
Pergerakan ini berbanding terbalik dengan kepemilikan investor asing yang menyusut menjadi Rp 533,54 triliun dari Rp 533,63 triliun pada periode yang sama. Bahkan, jumlah dan asing di SBN sempat turun tajam menjadi Rp 532,16 triliun pada Kamis (20/8).
Head of Operation and Business Development Panin Asset Management Rudiyanto menilai, saat ini, surat utang negara sudah cukup menarik untuk dikoleksi. "Yield obligasi pemerintah tenor 9 tahun sudah naik tinggi ke level 9%," tuturnya.
Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) menunjukkan, rata-rata yield SBN naik 11,32% secara year to date per Senin (24/8). Adapun secara year on year telah naik 6,6%. M
anajer investasi menerapkan strategi tersendiri dalam memilih instrumen obligasi. Fund Manager Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul lebih memilih SBN bertenor panjang. "Kami mengganti tenor pendek jadi tenor panjang, karena yield sudah sangat menarik dibanding tenor pendek," katanya.
Ia mengaku, lebih banyak mengambil SUN ketimbang obligasi korporasi. Sebab, instrumen ini lebih likuid ditransaksikan di pasar sekunder. "Jadi kami bermain di tenor dan porsi saja," katanya. Direktur Utama Danareksa Investment Management Prihatmo Hari menilai, yield SBN saat ini sudah mulai menarik.
Meski demikian, pihaknya masih menahan diri dan memperbesar porsi kas. Danareksa Investment Management masih menanti kepastian kebijakan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed). "Kami juga menanti reaksi Bank Indonesia apabila Fed fund rate naik," kata Prihatmo.
Ungguli basis saham
Prediksi Jemmy, tahun ini, reksadana berbasis obligasi atau pendapatan tetap berpotensi mengalahkan return reksadana saham. Jebloknya kinerja pasar saham yang menjadi aset dasar reksadana saham bakal menggerus return produk tersebut.
Rudiyanto memperkirakan, return reksadana pendapatan tetap tahun ini antara 1%-2%. Adapun, return jangka panjang bisa 7%-10% per tahun. "Tahun ini, return reksadana pendapatan tetap bisa lebih baik dibandingkan reksadana saham," proyeksinya.
Infovesta Utama mencatat, rata-rata return reksadana pendapatan tetap selama setahun terakhir per 26 Augustus 2015 sebesar 3,4%. Return tersebut jauh lebih baik dibandingkan reksadana saham, yakni minus 20,29%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News