kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Wah, stimulus baru The Fed mencapai US$ 900 miliar!


Kamis, 04 November 2010 / 02:17 WIB
Wah, stimulus baru The Fed mencapai US$ 900 miliar!
ILUSTRASI. Net1 Indonesia Teken Perjanjian Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur 4G LTE dengan Pemda Kabupaten Mu


Reporter: Cipta Wahyana | Editor: Cipta Wahyana

JAKARTA. Kabar yang ditunggu-tunggu pelaku pasar modal di seluruh dunia akhirnya muncul. Rabu (3/11) waktu Washington atau Kamis (4/11) dini hari waktu Indonesia, bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) akhirnya mengumumkan kepastian tetang pengucuran stimulus jilid II mereka.

Dalam rilis di situsnya yang muncul setelah Federal Open Market Commitee (FOMC) bersidang, The Fed menegaskan bahwa mereka akan melanjutkan program pembelian obligasi pemerintah dari pasar yang telah mereka lakukan selama ini. Langkah ini juga sering disebut quantitative easing (QE)

Tak tanggung-tanggung, The Fed siap menggelontorkan dana US$ 600 miliar untuk memborong obligasi pemerintah dari tangan bank atau institusi keuangan lain hingga akhir kuartal II 2011 atau akhir Juni 2011. Artinya, nilai pembelian obligasi per bulan bisa mencapai US$ 75 miliar.

Namun, sejatinya, angka total stimulus yang bakal mengucur bisa lebih besar lagi. Rilis The Fed New York yang muncul nyaris bersamaan dengan pengumuman The Fed itu merinci langkah pembelian obligasi pemerintah AS yang sesungguhnya.

The Fed New York menyatakan bahwa FOMC telah menugaskan Open Market Trading Desk Federal Reserve New York untuk menjalankan program pembelian obligasi pemerintah AS itu.

Mereka menyebut, FOMC menugaskan mereka memborong obligasi pemerintah senilai US$ 600 miliar hingga akhir kuartal II-2011. Tapi, ini hanya menghitung dana "segar" yang dialokasikan The Fed.

Selain itu, FOMC juga menugaskan Fed New York untuk menginvestasikan kembali (reinvest) dana pembayaran obligasi yang sebelumnya mereka pegang. Mereka memperkirakan, hingga akhir Juni 2011, nilai dana yang akan dinvestasikan kembali itu mencapai US$ 250 miliar hingga US$ 300 miliar.

Artinya, total jenderal, dana yang akan masuk pasar dan memborong obligasi pemerintah AS hingga akhir kuartal II-2011 akan mencapai US$ 850 miliar-US$ 900 miliar. Mengutip pernyataan tertulis The Fed New York, jika dipecah, setiap bulan, The Fed akan membelanjakan dana sekitar US$ 110 miliar. Periciannya sebesar US$ 75 miliar berupa dana segar dan US$ 35 miliar adalah dana reinvestment obligasi yang jatuh tempo.

Ekonomi AS mengkhawatirkan

Keputusan ini mengirimkan pesan sangat jelas bahwa The Fed akan mempertahankan kebijakan moneter mereka yang sangat longgar saat ini. Apalagi, dalam pernyataan terbarunya itu, The Fed jelas-jelas menyatakan akan mempertahankan bunga acuan (fed funds rate) di kisaran 0%-0,25%.

Sementara, kebijakan pembelian obligasi pemerintah yang terus menerus itu juga akan menjaga imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang menjadi acuan tetap rendah. Kalau sudah begini, masyarakat yang memiliki dana tak memiliki banyak pilihan selain membelanjakan duit yang mereka kantongi.

Di saat yang sama, dana segar yang mengalir ke perbankan diharapkan juga menjelma menjadi kredit. Dampaknya, lagi-lagi, kegiatan konsumsi dan produksi masyarakat akan meningkat. Dan, ujungnya, roda ekonomi AS akan kembali berputar.

Ini klop dengan alasan resmi yang dikemukakan The Fed. Bank sentral AS ini membeberkan alasan kebijakan mereka secara panjang lebar dalam satu paragraf pertama pernyatannya. Tapi, intinya cuma satu: pemulihan ekonomi Amerika berjalan sangat lambat.

Indikatornya banyak. Misalnya, tingkat produksi industri yang rendah, penambahan lapangan kerja sangat lambat, pendapatan masyarakat stagnan, dan seterusnya. Tak kalah penting, angka inflasi juga cenderung semakin kerdil. Indikator terakhir ini juga menjadi sinyal bahwa ekonomi AS jalan di tempat.

Sekedar mengingatkan, hingga akhir kuartal III-2010, pertumbuhan tahunan (year on year) ekonomi AS hanya 2%. Sementara, angka pengangguran tetap berada di kisaran 9,6%.

Untuk menggerakkan roda ekonomi, pada bulan Desember 2008, The Fed telah memangkas bunga acuan hingga mendekati nol persen. The Fed juga telah membelanjakan U$ 1,7 triliun untuk membeli obligasi pemerintah yang beredar di pasar. Inilah yang sering disebut quantitative easing tahap I. Namun, ibarat menggarami laut, hasil kebijakan bank sentral AS itu nyaris tak terlihat. Alih-alih membaik, ekonomi AS terus melemah dan terancam jeratan deflasi.

Apakah paket stimulus kedua ini akan berhasil? Waktu jua yang akan membuktikannya. Yang pasti, tak semua bos The Fed yang menjadi anggota FOMC sepakat dengan kebijakan ini. Thomas M. Hoenig, President The Fed Kansas City menentang pembelian obligasi pemerintah ini. Ia menilai, risiko kebijakan ini lebih besar ketimbang manfaatnya. Ia juga mengingatkan, pelonggaran kebijakan moneter ini berisiko memicu ketidakseimbangan pasar finansial dan menumbuhkan ekspektasi inflasi dalam jangka panjang. Semua itu akan mengganggu stabilitas ekonomi.

Dampak ke pasar modal

Sejak awal, banyak analis menduga, keputusan pelaksanakaan quantitative easing tahap II akan membuat dana-dana asing semakin deras mengalir ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagian dana itu tak lain berasal dari dana yang digelongorkan The Fed tadi.

Jadi, alih-alih digunakan untuk konsumsi atau membiayai aktivitas produksi, dana stimulus AS itu akhirnya justru lari ke negara-negara berkembang demi mengejar rente di pasar modal yang memang sangat menggiurkan.

Apalagi, pasokan dollar yang melimpah akan cenderung membuat nilai dollar AS semakin melemah. Ekspektasi seperti ini akan membuat investor semakin alergi mendekati aset keuangan berbasis dollar AS.

Jika skenario ini yang terjadi, bursa saham di negara berkembang, termasuk Indonesia, memiliki potensi untuk terus menguat.Harga berbagai komoditas juga akan terbang.

Namun, cerita yang terjadi bisa berbeda jika ternyata sebagian besar investor telah mengantisipasi keputusan The Fed itu. Kita tahu, investor sering menempuh jurus "buy on roumors sell on fact". "Saya agak khawatir bahwa semua orang telah membeli rumornya, dan sekarang justru waktunya untuk menjual," tulis Nico Omer Jonckheere, analis Valbury Asia Securities dalam situs blog kontan.co.id.

Jika skenario kedua ini yang terjadi, alih-alih menguat, bursa saham akan adem-ayem atau justru sedikit terkoreksi dalam jangka pendek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×