Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Yudho Winarto
JAKARta. Membengkaknya jumlah utang luar negeri korporasi Indonesia sepertinya tidak akan mengancam pasar obligasi domestik. Tingkat yield Surat Utang Negara (SUN) yang menjadi acuan pergerakan yield obligasi korporasi, diprediksi bisa membaik pada sisa tahun ini.
Sekadar mengingatkan, baru-baru ini, survei Standard & Poor's menemukan utang luar negeri korporasi di Indonesia naik dua hingga tiga kali lipat ketimbang utang lokal periode tahun 2010-2014.
Bank Indonesia (BI) mencatat, utang luar negeri swasta tahun 2010 mencapai US$ 83,78 miliar. Per Juni 2015, jumlahnya menggemuk jadi US$ 169,68 miliar. Hal ini diduga bisa memicu turbulensi ekonomi. Apalagi, pelemahan rupiah masih mengancam.
Meski demikian, analis Millenium Capital Management Desmon Silitonga menilai, sentimen tersebut tak akan menekan pasar obligasi. Emiten dalam negeri sudah melakukan lindung nilai (hedging) sebagai antisipasi risiko fluktuasi rupiah. "Sehingga, ramalan S&P tersebut kecil kemungkinan melemahkan rupiah dan harga obligasi," katanya, Kamis (3/9).
Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Anil Kumar sependapat. Katanya, sentimen tersebut tidak akan berdampak langsung terhadap rupiah. Ia justru menilai, pemerintah seharusnya bisa merespons ramalan S&P itu untuk lebih memberdayakan pasar obligasi di dalam negeri. Sehingga korporasi bisa memanfaatkan pasar domestik untuk mencari sumber pendanaan sebagai alternatif pinjaman luar negeri. "Tapi, pemerintah harus menciptakan iklim pasar obligasi yang transparan. Misalnya acuan yang jelas dalam penetapan rating,” ujarnya.Selain itu, perlu realisasi electronic trading platform supaya transaksi surat utang domestik lebih transparan.
Menurut Anil, wajar emiten berlomba-lomba berutang ke luar negeri. Suku bunga acuan Indonesia mencapai 7,5%, sehingga biaya dana atau cost of fund pinjaman perbankan melebihi level tersebut. Sedangkan, suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) hanya 0,25%, sehingga, biaya berutang di luar negeri lebih murah.
Dari sisi lain, menumpuknya utang luar negeri swasta sebenarnya menjadi pertanda korporasi optimistis, perekonomian akan membaik. Sehingga mereka mencari dana untuk ekspansi.
Harga bisa tertekan
Terlepas dari efek ramalan S&P, menurut Anil, harga obligasi bisa kembali tertekan pada bulan ini. Maklum, ada ancaman kenaikan suku bunga di AS. Jika ada titik terang terkait suku bunga AS, ia memprediksi yield SUN bertenor 10 tahun akan terangkat hingga 9,5%-10%.
Alhasil, investor akan tergoda, sehingga getol mengejar obligasi domestik. Efeknya, harga bisa rebound dan yield turun lagi. Maka, Anil menduga, pada penghujung tahun ini, yield SUN tenor 10 tahun bisa ke level 8,5%. Sedangkan, obligasi korporasi dengan rating AAA bertenor sama di kisaran 11,5%-12%.
Kamis (3/9), harga SUN acuan tenor 10 tahun (FR0070) turun 0,53% dari hari sebelumnya menjadi 97,14. Adapun, yield naik dari semula 8,77% menjadi 8,86% pada periode yang sama. Akhir tahun lalu, yield masih di kisaran 7,75%
Sementara, kemarin (3/9), rata-rata yield obligasi korporasi yang tercermin pada INDOBeX Corporate Effective Yield bertengger di level 10,42%, naik dibandingkan tahun lalu pada level 10,20%.
Desmon juga menilai, kenaikan yield akibat depresiasi rupiah bisa menarik minat investor untuk masuk. Namun, ia menduga tingkat yield bisa stabil apabila pemerintah intervensi dengan buyback SUN dan menjaga rupiah.
Prediksi Desmon, pada penghujung tahun ini, yield seri FR0070 bisa sedikit turun ke level 8,5%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News