Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru Erick Thohir sempat menyoroti soal utang BUMN ketika serah terima jabatan dengan Menteri BUMN yang lama Rini Soemarno berlangsung. Erick mewanti-wanti supaya BUMN tidak terjebak pada pandangan negatif soal utang. Menurut dia, utang dapat menjadi hal yang positif kalau dapat menjadi cash flow atau pendapatan.
Melihat kembali laporan keuangan emiten BUMN per Juni 2019, tercatat jumlah utang BUMN beserta anak usahanya mencapai Rp 3.239,27 triliun. Sementara tanpa anak usaha, jumlahnya sebesar Rp 3.130,99 triliun. Jumlah tersebut mencakup utang dalam bentuk rupiah dan dolar Amerika Serikat (AS) dengan menggunakan asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS.
Jika ditelisik lebih jauh, sektor konstruksi, properti, dan konstruksi non-bangunan adalah BUMN yang memiliki jumlah utang paling besar. Enam perusahaan dalam sektor tersebut, yaitu PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT PP Tbk (PTPP), PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT PP Properti Tbk (PPRO), Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk (WEGE) mencatatkan utang sebesar Rp 222,55 triliun.
Baca Juga: Utang besar BUMN, sektor mana yang paling tertekan?
Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony berpendapat, jumlah utang tersebut masih tergolong wajar. Pasalnya, jumlah utang tersebut memang sejalan dengan jumlah proyek yang dijalankan. Terlebih lagi, BUMN konstruksi memang lazimnya menanggung terlebih dahulu dana pelaksanaan proyek-proyek tersebut. "Sekarang ini, perusahaan-perusahaan tersebut tinggal menunggu pembayaran proyek yang telah selesai," kata Chris kepada Kontan.co.id, Kamis (24/10).
Dengan begitu, ia melihat beban utang emiten konstruksi masih dapat ditanggulangi. Pasalnya, dana pembayaran dari para klien dapat digunakan lagi sebagai modal kerja perusahaan.
Sementara itu, melihat BUMN di luar sektor konstruksi dan properti, Chris menyoroti beberapa emiten yang beban utangnya tergolong besar. Mereka adalah PT Phapros Tbk (PEHA), PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), dan PT Indosat Tbk (ISAT). Per semester I-2019, PEHA mencatatkan utang Rp 1,17 triliun, GIAA US$ 3,57 miliar, KRAS US$ 2,57 miliar, dan ISAT Rp 44,09 triliun.
Menurut dia, jumlah utang ini akan membebani kinerja perusahaan-perusahaan tersebut. Terlebih lagi, mayoritas emiten masih mencatatkan rugi bersih atau mencatatkan penurunan laba bersih.
Baca Juga: BEI berharap ada lima BUMN yang IPO tahun depan
Per Juni 2019, PEHA mencatatkan penurunan laba bersih 9,4% yoy menjadi Rp 47,75 miliar. Kemudian, KRAS membukukan kenaikan rugi bersih 742,9% yoy menjadi US$ 134,95 juta. Selanjutnya, ISAT masih mencatatkan rugi sebesar Rp 331,9 miliar per semester 1-2019. Oleh karena itu, menurut Chris, emiten-emiten ini perlu memikirkan cara bagaimana mengecilkan utangnya supaya lebih leluasa dalam berekspansi.
Dari segi saham, Chris merekomendasikan untuk membeli saham WIKA, WEGE, PT Bukti Asam Tbk (PTBA), dan PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IPCC). WEGE direkomendasikan karena proyeknya yang cukup baik serta lebih banyak proyek yang pembayarannya di muka. Dengan begitu, hal ini mengurangi keharusan WEGE untuk berutang dan mengurangi beban pada arus kas.
Sementara itu, WIKA direkomendasikan karena memiliki proyek yang terdiversifikasi secara bentuk dan wilayah sehingga lebih stabil. Kemudian, PTBA dan IPCC disarankan karena harganya sudah tergolong murah akibat penurunan yang cukup dalam. Selain itu, kedua perusahaan ini juga masih mencatatkan peningkatan laba bersih. Chris memasang target harga WEGE Rp 500 per saham, WIKA Rp 2.400, PTBA Rp 3.000, dan IPCC Rp 1.600.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News