Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan harga minyak di sisa 2019 saat ini berada dalam trens konsolidasi, seiring dengan berbagai sentimen yang mempengaruhi harga komoditas tersebut.
Utamanya, yakni perkembangan sentimen perang dagang antara AS dan China, serta arah kebijakan moneter dari Bank Sentral Amerika Serikat (AS/The Fed).
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September 2019 di New York Mercantile Exchange (NYMEX) kemarin sempat menyentuh level US$ 53,95 per barel.
Baca Juga: Mulai naik, harga minyak masih dalam tekanan turun
Untungnya, pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (2/8), harga berhasil kembali naik 1,85% ke level US$ 54,95 per barel pada pukul 16:00 WIB.
Sekadar mengingatkan Bank Sentral Amerika Serikat (AS/The Fed) baru memangkas suku bunga acuannya di akhir Juli 2019 sebanyak 25 basis poin (bps) ke level 2% hingga 2,5%.
Meskipun sudah diprediksi oleh pasar, namun sikap hawkish yang ditunjukkan Gubernur The Fed Jerome Powell justru menjadi sentimen negatif bagi harga minyak.
Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono menjelaskan, keputusan The Fed yang cenderung hawkish tersebut cukup mengecewakan pasar. Apalagi, belum jelasnya nasib pemangkasan FFR ke depan, bisa memicu pelemahahan lawan USD, termasuk minyak.
Baca Juga: Setelah Minyak, Indonesia Bakal Defisit Gas di 2035
"Dengan asumsi yang tidak jauh berbada, The Fed (suku bunga acuan) potensinya tidak akan banyak berubah, karena mereka masih sulit untuk hawkish. Harapannya, harga kisaran minyak belum akan berubah tahun ini," kata Wahyu kepada Kontan.co.id, Jumat (2/8).
Meskipun begitu, Wahyu menilai harga minyak masih sulit untuk tembus ke level US$ 70 per barel di tahun ini. Kalaupun bisa suatu waktu melemah, Wahyu optimistis level harga minyak berpotensi jauh dari level US$ 50 per barel.
Ke depannya, tekanan pada harga minyak masih akan berlangsung, khususnya di tengah isu kecemasan ekonomi global, ditambah lagi sentimen perang dagang. Terbaru, cuitan Presiden AS Donald Trump yang bakal menerapkan kenaikan pajak 10% bagi impor barang dari China, sukses membuat pasar global meradang.
Baca Juga: Sempat anjlok kemarin, harga minyak kembali bangkit di awal perdagangan hari ini
Namun, meskipun ancaman tersebut bisa menekan harga minyak, ada beberapa sentimen yang diyakini mampu menahan tekanan pada harga minyak saat ini. Di antaranya, kebijakan OPEC untuk mengurangi produksi mampu menahan pelemahan harga minyak.
Selain itu, Wahyu mengatakan angka produksi cenderung melemah, meskipun Energy Information Administration (EIA) sempat mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya bakal meningkatkan produksi ke depan.
Hal tersebut tampak dari melambatnya aktivitas pengeboran di beberapa tambang minyak. "Bahkan, jika produksi bertambah, pangsa ekspor masih bagus, sehingga masih ada alasan bagi harga minyak terjaga," jelasnya.
Sebagaimana diketahui, harga minyak sempat melonjak seiring dengan rencana pemangkasan produksi dari negara-negara pengekspor minyak (OPEC).
Baca Juga: Terkena tumpahan minyak, 1.636,25 Ha tambak di Karawang ikut terdampak
Selain itu, ketegangan geopolitik Iran dan tren pelonggaran moneter yang bakal dilakukan beberapa bank sentral dunia, khususnya The Federal Reserve (The Fed) sempat memberikan sentimen positif dan mendorong harga minyak naik.
Namun, kecemasan pelaku pasar akan perlambatan ekonomi global yang bakal diakibatkan sentimen perang dagang antara AS dan China dianggap cukup mengganggu pergerakan harga minyak.
Wahyu menilai, saat ini pasar cenderung pesimis terhadap prospek harga minyak, khususnya adanya risiko resesi global yang dianggap mampu menekan permintaan akan minyak.
Meskipun begitu, ketegangan geopolitik antara AS dengan Iran diprediksi bakal selesai dalam waktu dekat, dengan kemungkinan Iran bisa mengekspor lebih banyak minyak ke depannya.
Baca Juga: Harga minyak melorot dipicu pernyataan The Fed tentang penurunan suku bunga
Di sisi lain, pasokan minyak dinilai lebih tinggi ketimbang permintaan di 2020 mendatang, sementara Arab Saudi dan Kuwait masih menegosiasikan kelanjutan produksi di ladang minyak Khafji dan Wafra.
Secara teknikal, harga minyak jangka panjang berada dalam tren konsolidasi rebound dari area bawah. Untuk jangka menengah hingga akhir tahun ini, harga masih mampu bertahan dan berpeluang rebound, meskipun sulit tembus level US$ 70 per barel.
Untuk pergerakan harga harian, Wahyu mengungkapkan pergerakannya masih di area konsodilasi dari area koreksi akibat sentimen perang dagang dan isu lainnya, termasuk The Fed. Sehingga, pergerakan harga minya diperkirakan berada di area US$ 50 per barel hingga US$ 60 per barel.
Sehingga, Wahyu merekomendasikan investor untuk buy on weakness untuk komoditas minyak, dengan level support berada di kisaran US$ 53,70 per barel, US$ 52,60 per barel, dan US$ 51,50 per barel.
Adapun untuk level resistance berada di level US$ 56 per barel, US$ 56,80 per barel, dan US$ 57,60 per barel. Sedangkan untuk pergerakan sepekan depan berada di kisaran US$ 50 per barel hingga US$ 58 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News