Sumber: Cointelegraph | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Reli harga Bitcoin (BTC) menuju level US$125.000 tampaknya harus sedikit tertunda.
Meski mata uang kripto terbesar itu berhasil bangkit ke atas US$114.000 hanya dua hari setelah flash crash Jumat lalu yang menghapus sekitar US$15 miliar dari kontrak berjangka Bitcoin, sejumlah faktor masih berpotensi menahan laju kenaikan harga dalam waktu dekat.
Melansir Cointelegraph Selasa (14/10/2025), secara fundamental, prospek jangka panjang Bitcoin tetap kuat.
Namun, selama investor masih memandang BTC sebagai aset berisiko dan pergerakannya berkorelasi dengan saham teknologi, momentum bullish yang berkelanjutan masih bergantung pada keyakinan yang lebih kuat terhadap pertumbuhan ekonomi global.
Baca Juga: Bukan Pertama Kalinya Bitcoin Anjlok Tajam, Ini Deretan Crash yang Mengguncang Pasar
1. Tekanan dari Data Ketenagakerjaan AS dan Ketegangan Dagang dengan China
Sinyal pelemahan ekonomi AS kembali memicu kehati-hatian investor. Data dari The Carlyle Group yang dikutip The Wall Street Journal memperkirakan penambahan tenaga kerja AS pada September hanya sekitar 17.000 orang, turun dari 22.000 pada Agustus.
Kondisi tersebut mendorong permintaan terhadap obligasi pemerintah AS, menekan imbal hasil mendekati 3,5% karena investor mencari aset aman di tengah ketidakpastian ekonomi.
Kekhawatiran juga meningkat menjelang berakhirnya gencatan sementara tarif impor AS-China pada 10 November mendatang.
Presiden AS Donald Trump menulis di Truth Social bahwa perpanjangan kesepakatan “masih bisa diupayakan,” namun belum ada kepastian selain rencana pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping.
Sementara itu, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyebut kebijakan kontrol ekspor rare earth China sebagai langkah “provokatif”, karena berpotensi menekan sektor teknologi global.
Di sisi lain, penutupan sebagian pemerintahan AS (government shutdown) menunda rilis sejumlah data ekonomi penting seperti inflasi konsumen dan harga grosir, yang memperumit pandangan The Fed dan menambah ketidakpastian menjelang pidato Ketua Jerome Powell pekan ini.
Baca Juga: Trader Ini Raup Rp 3,1 Triliun dalam 2 Jam Sebelum Trump Umumkan Tarif 100% ke China
2. Ketimpangan Likuiditas dan Risiko di Pasar Derivatif Bitcoin
Meski hubungan dagang AS-China berpotensi membaik, para trader masih berhati-hati di pasar derivatif kripto.
Perbedaan harga antara kontrak perpetual futures dan harga spot di sejumlah bursa masih menciptakan peluang arbitrase, tanda pasar belum sepenuhnya stabil.
Tingkat pendanaan (funding rate) kontrak berjangka abadi di Binance masih negatif, artinya posisi jual (short) harus membayar untuk menggunakan leverage. Kondisi ini berbeda dengan bursa lain yang sudah kembali ke level positif.
CEO Asymmetric Financial, Joe McCann, menyebut di platform X bahwa “salah satu market maker besar kemungkinan tersapu” saat crash Jumat lalu, yang menjelaskan adanya kesenjangan harga di beberapa bursa dan “dislokasi ekstrem” di Binance. Kondisi ini membuat pelaku pasar menahan diri sebelum kembali aktif.
CEO Crypto.com Kris Marszalek bahkan menyerukan regulator untuk meninjau ulang keadilan praktik likuidasi dan transparansi bursa, menyusul laporan gangguan sistem dan potensi insider trading saat volatilitas melonjak.
Baca Juga: Ketegangan Dagang AS-China Tekan Harga Bitcoin, Investor Diminta Tetap Waspada
3. Sentimen Risiko yang Menurun Pasca Flash Crash
Kelebihan Bitcoin sebagai aset langka yang independen memang tidak terganggu oleh flash crash Jumat lalu.
Namun, selera risiko (risk appetite) investor jangka pendek menurun tajam, sehingga potensi reli menuju rekor tertinggi baru kemungkinan tertunda beberapa pekan, atau bahkan beberapa bulan.
Selanjutnya: Simak Rekomendasi Teknikal Mirae Sekuritas Saham ESSA, INDY, HRUM, Selasa (14/10l
Menarik Dibaca: Promo McD Oktoburger Deal 14 Oktober 2025: Paket Cheeseburger Komplit Rp 33.636
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News