Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pernyataan Perdana Menteri Inggris Theresa May untuk mundur di awal Juni nanti, semakin memberikan tekanan pada ketidakpastian politik Inggris. Mengingat, saat ini Negeri Ratu Elisabeth tersebut tengah dihadapkan pada polemik rencana keluarnya negara tersebut dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit.
May yang dulu mendukung keanggotaan Inggris di Uni Eropa naik ke kursi Perdana Menteri setelah pemilih Inggris menyetujui negaranya meninggalkan Uni Eropa dalam sebuah referendum tahun 2016.
Selajutnya, May harus memimpin proses keluarnya Inggris atau Brexit. Namun, selama perundingan dengan Uni Eropa, dia menghadapi tantangan keras, baik dari oposisi maupun dari partainya sendiri. Perjanjian Brexit yang disepakati pemerintahan May dengan Uni Eropa tidak pernah mendapat suara mayoritas di parlemen, juga setelah diajukan tiga kali. Pemerintahan Inggris menghadapi kebuntuan, hal ini disertai dengan banyaknya menteri yang mengundurkan diri dan harus diganti.
Kekacauan proses Brexit selanjutnya melumpuhkan pemerintahan Inggris selama beberapa bulan terakhir. Tidak ada usulan alternatif May yang diterima oleh parlemen. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang seharusnya dijadwalkan pada akhir Maret lalu, jadi tertunda dan masih menggantung.
Analis Finex Berjangkan Nanang Wahyudi mengatakan, tekanan situasi politik Inggris tersebut sukses membuat poundsterling (GBP) kesulitan bergerak dari level terendah. Bahkan, GBP/USD sempat berada di poin 1,2600 akibat ketidakjelasan situasi politik Inggris.
"Theresa May masih dalam kondisi yang belum cukup mampu menghadapi tekan cukup besar. Ditambah lagi, parlemen dari partai konservatif yang tidak puas dengan kepemimpinannya dan ini akan jadi tekanan sangat besar," kata Nanang kepada Kontan, Jumat (24/5).
Untuk itu, Nanang mengungkapkan bahwa dengan gejolak politik dalam negeri yang terjadi dan masalah yang terus datang mendekati akhir kepemimpinan May, bisa menjadi pemberat bagi mata uang poundsterling untuk bangkit. "Bahkan, Boris Johnson yang digadang-gadang bakal menjadi pengganti May, belum cukup kuat untuk mengontrol poundsterling," jelasnya.
Di sisi lain, mata uang dollar AS masih melanjutkan penguatan, khususnya terhadap mata uang negara emerging market. Middle currency cenderung mengalami pelemahan terhadap dollar AS, akibat dampak dari sentimen perang dagang antara AS dan China.
Kembali mencuatnya sentimen perang dagang AS dan China, membuat pelaku pasar menghindari aset-aset yang memiliki risiko tinggi. Pelaku pasar saat ini cenderung memilih safe haven, utamanya yang memiliki suku bunga rendah. Bahkan, tak sedikit pelaku pasar yang melepas saham dan obligasi untuk menyelamatkan aset mereka saat ini, termasuk beralih ke investasi emas.
"Sementara itu, fundamental AS masih dianggap positif, sehingga market juga cenderung memilih dollar AS di tengah ketidakpastian situasi ekonomi global seperti perang dagang, politik Eropa, hingga penurunan harga komoditas," ujar Nanang.
Dengan begitu, Nanang merekomendasi investor untuk melakukan aksi jual pada pasangan kurs GBP/USD pada perdagangan Senin (27/5). Adapun rentang resistance yakni 1,2725 - 1,2786 - 1,2847, sedangkan untuk support 1,2603 - 1,2542 - 1,2481.
Secara teknikal, pairing GBP/USD cenderung masih bearish, meskipun dilihat dari stochastic masih berpottensi terjadi rebound. Namun dari indikator MACD, Nanang menyampaikan bahwa indikator masih mengalami tekanan dan berada di zona negatif.
"Begitu juga dilihat dari indikator moving average, di mana harga masih bergerak di bawah moving average (cenderung bearish)," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News