Reporter: Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo
Bila kita cermati, harga sebagian besar saham baik di sektor perbankan maupun sektor barang konsumen memang tidak bisa dikatakan kemurahan.
Ini terlihat dari valuasi saham-saham tersebut. Cara paling mudah menentukan valuasi saham mahal atau tidak adalah dengan melihat perbandingan antara harga saham dengan laba bersih emiten atawa price to earning ratio (PER).
Saham Unilever Indonesia (UNVR), misalnya, memiliki rasio harga saham alias price to earning ratio (PER) 46,26 kali dengan asumsi harga penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Saham Indofood Sukses Makmur (INDF) dan anak usahanya, Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP) memiki PER masing-masing 12,89 kali dan 25,57 kali.
Di industri rokok, saham Gudang Garam (GGRM) memiliki PER 16,54 kali. Sementara PER saham HM Sampoerna (HMSP) sebesar 25 kali.
Rasio harga saham terhadap laba bersih per saham emiten perbankan juga lumayan tinggi.
Saham Bank Central Asia (BBCA) tergolong saham perbankan yang cukup mahal dengan PER sebesar 29,07 kali.
Lalu, saham dua bank terbesar di Indonesia, Bank Mandiri (BMRI) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI) memiliki PER masing-masing 12,84 kali dan 16,34 kali.
Tentu, bagi seorang investor fundamental seperti Lo Kheng Hong, menilai harga wajar perusahaan tidak hanya ditentukan berdasarkan PER.
Sebab, jika hanya mengandalkan valuasi berdasarkan PER, Lo Kheng Hong tak akan masuk ke saham-saham yang perusahaannya membukukan kerugian alias PER-nya minus.
Seperti kita ketahui, Lo Kheng Hong mengakumulasi saham BUMI dan saham Grup Indika seperti INDY, PTRO, dan MBSS, justru di saat perusahaan tersebut tengah merugi.
Baca Juga: Lo Kheng Hong meraup angpao besar dari BUMI
Menurut Lo Kheng Hong, saham yang salah harga hanya ditemukan di perusahaan yang sektornya saat ini kurang baik.
Namun, bukan berarti setiap saham salah harga di sektor yang sedang kurang bagus memiliki prospek menarik.
Sebab, ada sektor saham yang saat ini kurang bagus namun susah berubah menjadi bagus di kemudian hari.
Lo Kheng Hong mencontohkan, sektor tekstil dan baja termasuk sektor yang sulit berubah menjadi lebih bagus.
Lalu, bagaimana cara Lo Kheng Hong memilih perusahaan yang sektornya kurang bagus saat ini tapi punya prospek bagus?