Reporter: Emir Yanwardhana | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Fenomena super dollar kembali datang. Nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) semakin kuat terhadap mata uang utama dunia, termasuk rupiah. Kemarin, kurs rupiah di pasar spot ditutup di Rp 13.406 per dollar AS.
Tapi, siang harinya, rupiah sempat naik ke level Rp 13.461 per dollar AS. Kurs rupiah di pasar non-deliverable forward (NDF) juga mengindikasikan rupiah masih bisa melemah.
Kurs NDF rupiah tiga bulan mencapai Rp 13.793. NDF 12 bulan bahkan mencapai Rp 14.533 per dollar AS. Jumat dua pekan lalu (11/11), kurs rupiah sempat mencapai Rp 13.873 per dollar AS.
Sejumlah lembaga keuangan dunia juga memprediksikan, keperkasaan dollar AS ini berlanjut hingga 2017. Dalam catatannya kepada investor, akhir pekan lalu, Goldman Sachs memberi sinyal dollar AS berpeluang menguat 10% terhadap mata uang utama dunia pada tahun depan.
Penguatan dollar AS sama artinya menekan rupiah. Yang terbaru, kemarin, tim riset Standard Chartered Bank yang dipimpin Head Asian FX Strategy Robert Minikin juga menurunkan pembobotan rupiah dari overweight menjadi netral.
Stanchart menurunkan proyeksi rupiah pada kuartal III-2017 menjadi Rp 14.200 per dollar AS, dari sebelumnya di level Rp 12.800. Alasannya, rupiah tertekan oleh besarnya dana asing di dalam negeri.
Para emiten, terutama yang memiliki eksposur besar terhadap dollar AS, sudah mengatur strategi menghadapi potensi penguatan dollar AS. Ambil contoh PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL).
Iwan Lukminto, Direktur Utama Sri Rejeki, menandaskan bahwa SRIL adalah eksportir. Alhasil, "Dollar naik menguntungkan kami," kata Iwan pada KONTAN, Minggu (20/11).
Meski begitu, SRIL tetap melakukan natural hedging untuk mengantisipasi fluktuasi kurs. Lagi pula, SRIL mencatatkan laporan keuangan dalam mata uang dollar AS sehingga minim terpengaruh fluktuasi rupiah.
Sementara PT Indosat Tbk (ISAT) melakukan hedging untuk transaksi valuta asing, khususnya untuk utang. Utang dollar AS ISAT memang turun menjadi 12% di kuartal tiga lalu, ketimbang tiga tahun lalu yang sekitar 30%. "Proteksi ada, tapi sekarang nilainya tak sebesar tiga tahun lalu," kata Alexander Rusli, Direktur Utama ISAT, Senin (21/11).