Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri, Riska Rahman | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga minyak terus terkikis. Hal ini perlu menjadi alarm waspada karena bisa berdampak terhadap kinerja beberapa emiten saham.
Pada Rabu (21/6), harga minyak WTI kontrak pengiriman Agustus 2017 di New York Mercantile Exchange ditutup di US$ 42,53 per barel, posisi penutupan terendah sepanjang tahun ini. Bahkan, di hari tersebut, harga minyak sempat jatuh hingga menyentuh US$ 42,05 per barel.
Dalam sebulan terakhir, harga minyak sudah terjun sekitar 11,79%. Per pukul 20.50 WIB kemarin (22/6), harga minyak sedikit menguat dan bertahan di US$ 42,82 per barel.
Minyak merosot lantaran pelaku pasar meragukan kemampuan OPEC mengurangi pasokan minyak global. Kini banyak pengamat memprediksi harga minyak bisa terus longsor hingga US$ 40 per barel.
Tergerusnya harga emas hitam ini bakal membuat kinerja produsen minyak dan sejumlah emiten di sektor jasa penunjang energi tertekan. Reza Priyambada, Analis Binaartha Parama Sekuritas, mengatakan, emiten seperti PT Benakat Integra Tbk (BIPI) dan PT Medco Internasional Tbk (MEDC) akan terkena imbas negatif secara langsung.
Selain itu, emiten sektor pertambangan batubara dan mineral juga akan turut terkena dampak. Maklum saja, penurunan harga minyak biasanya turut membuat harga komoditas tambang lainnya merosot.
Analis Danareksa Sekuritas Lucky Bayu Purnomo bilang, harga jual produk batubara dan mineral dari emiten penambang, seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) bisa terpangkas.
Imbas penurunan harga minyak juga akan dirasakan sektor transportasi. Bagi kapal-kapal pengangkut minyak, akan ada potensi penurunan nilai kontrak yang bakal merugikan emiten sektor ini, seperti PT Soechi Lines Tbk (SOCI), PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA) dan PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL).
Beban emiten berkurang
Tapi tak semua emiten merugi penurunan harga minyak. Sejumlah emiten justru diuntungkan. Pasalnya, beban operasional akan turun akibat terpangkasnya harga minyak. Reza bilang, emiten seperti PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) yang menggunakan produk turunan minyak sebagai bahan baku, akan diuntungkan karena biaya produksinya turun.
Biaya produksi sektor barang konsumsi juga akan terpangkas. Lucky menilai, saham PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) layak diperhatikan investor selagi harga minyak dunia terjun bebas. Begitu pula saham emiten rokok seperti PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP).
Saham perbankan juga termasuk saham defensif terhadap isu minyak. Apalagi secara fundamental, saham perbankan masih cukup menarik. "Tren sektor perbankan masih positif. Jadi mampu bertahan dari isu penurunan harga minyak," kata Lucky pada KONTAN, Kamis (22/6).
Indeks saham perbankan belakangan ini juga terus mengalami kenaikan dan telah menguat 16,98% sepanjang tahun. Turunnya angka kredit macet serta pertumbuhan kredit yang mulai membaik membuat sektor ini terus tumbuh dibandingkan sektor lain.
Jadi, untuk mengurangi risiko akibat penurunan harga minyak dunia yang masih berlanjut, Lucky menyarankan agar investor mengalihkan portofolio ke saham-saham defensif, seperti saham bank. Ia antara lain merekomendasikan saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News