Reporter: Namira Daufina, RR Putri Werdiningsih | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat (AS) membuat pengumuman mengejutkan, Rabu (15/3) lalu waktu AS. Lembaga riset dan data bidang energi di AS ini mengumumkan stok minyak AS di pekan yang berakhir pada 10 Maret merosot 200.000 barel.
Hal ini membuat harga minyak dunia kembali menghangat. Maklum, ini merupakan penurunan pertama dalam 10 pekan. Kemudian ditambah lagi dollar AS malah melemah setelah The Fed menaikan suku bunga, kata Putu Agus Pransuamitra, Analis Monex Investindo Futures, kemarin (16/3). Seperti diketahui, kemarin indeks dollar AS terkikis 0,01% ke level 100,73.
Kamis (16/3) pukul 17.13 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman April 2017 di New York Mercantile Exchange naik 1,06% menjadi US$ 49,38 per barel. Alhasil, setelah sempat tertekan, sepekan terakhir harga minyak akhirnya naik 0,20%.
EIA juga mencatat, stok bensin di Negeri Paman Sam juga terkoreksi 3,06 juta barel menjadi 246,3 juta barel, atau level terendahnya sejak Januari 2017. "Artinya permintaan bensin meningkat dan ini membuat harga minyak WTI akan ikut terdongkrak," tambah analis SoeGee Futures Nizar Hilmy.
Jika bisa menembus US$ 50 per barel, Nizar memprediksi tren jangka pendek minyak WTI akan bullish. Posisi tersebut merupakan level resistence terkuat saat ini.
Mengurangi produksi
Faktor produksi minyak global masih jadi katalis utama pada harga minyak WTI. Setelah stok minyak di AS berkurang, pelaku pasar berharap pemangkasan produksi minyak anggota OPEC dan Rusia terus berlangsung.
Pada Januari 2017, OPEC telah berhasil memotong produksinya hingga 90% dari target yang dipatok. Namun, hal tersebut belum mampu mengembalikan harga minyak ke US$ 55 per barel. Putu menghitung, jika cadangan minyak AS terus turun hingga akhir kuartal I, harga baru bergerak ke US$ 52 per barel.
Selain ketakutan akan produksi AS, beberapa negara penghasil minyak, seperti Arab Saudi dan Irak, dikabarkan berniat kembali mengerek produksinya. Bahkan produksi Arab Saudi di bulan Februari sudah tembus di atas 10 juta barel per hari.
Adanya peningkatan produksi ini bisa jadi sentimen negatif. "Apalagi keduanya merupakan negara penghasil minyak terbesar, ujar Putu.
Secara teknikal, Putu melihat harga minyak WTI masih bergerak di bawah garis moving average (MA) 50 dan MA 100, tetapi sudah berada diatas garis MA200. Kemudian indikator relative strength indeks (RSI) masih menguat ke level 37 dan stochastic bergerak naik di level 44. Sedangkan indikator moving average convergence divergence (MACD) masih berada di area negatif 1,1.
Karena itu, Putu memperkirakan hari ini harga minyak masih menguat dengan rentang pergerakan US$ 48,75-US$ 50,30 per barel. Nizar memprediksi harga minyak masih naik dalam sepekan depan dan bergerak di kisaran US$ 50-US$ 53 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News