Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Situasi perang dagang antara AS dan China kembali memburuk. Hal ini dipicu oleh kebijakan pemerintah China untuk mengenakan tarif baru terhadap barang-barang dari AS dengan kisaran tarif 5%-10%. Kebijakan ini rencananya akan dilakukan dalam dua tahap pada 1 September 2019 dan mulai efektif 15 Desember 2019.
Rupiah menjadi salah satu yang terdampak terhadap memanasnya kondisi perang dagang saat ini. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah terpuruk di level Rp 14.248 per dolar AS pada Senin (26/8) pukul 15.00 WIB. Nilai tukar rupiah melemah 0,23% dari akhir pekan lalu.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, efek perang dagang ini tidak hanya berdampak pada rupiah melainkan emerging market lainnya. “Kalau perang dagang makin panas, eskalasinya bisa menyebabkan resesi secara global,” ujar Bhima.
Menurut Bhima, saat ini investor mulai kembali bermain di aset-aset aman. Para investor tersebut beralih ke emas, yen Jepang, dan surat utang negara (SUN). Dia menambahkan, ketika investor rupiah ini beralih ke safe haven, mereka melepas aset-aset yang berdenominasi rupiah. Hanya saja, Bhima menilai rupiah masih bisa tertahan selama dua pekan ke depan.
Baca Juga: Harga emas Antam catat rekor, saatnya beli atau jual?
Sependapat, ekonom Bank Permata Josua Pardede juga mengatakan bahwa saat ini situasi perang dagang cukup mengkhawatirkan untuk para pelaku pasar. Menurut Josua, safe haven menjadi pilihan utama bagi para investor dalam kondisi saat ini. Ia juga bilang mata uang dari negara-negara berkembang masih akan terus terpengaruh oleh situasi perang dagang.
Bhima juga menyebutkan ada beberapa sektor yang dirugikan akibat tarif baru yang diberlakukan oleh China. Sektor-sektor tersebut antara lain pertanian, otomotif, teknologi, dan tekstil. Beberapa sektor itu dinilai dapat merugikan Indonesia. “Sektor ini berpengaruh pada kerja impor ekspor dan defisit perdagangan akan melebar bagi Indonesia karena Indonesia jadi produsen home material dari sektor tadi,” jelas Bhima.
Situasi perang dagang sekarang dinilai bisa mempengaruhi bank sentral AS Federal Reserve untuk mengambil kebijakan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Hanya saja, Bhima dan Josua sependapat situasi ini tak memberi dampak yang begitu besar agar The Fed menurunkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat. Dalam pidato, Gubernur The Fed Jerome Powell tidak memberikan tanda-tanda bahwa The Fed akan menurunkan suku bunganya secara agresif.
Bhima bilang peluang The Fed menurunkan tingkat suku bunganya pada bulan September masih kecil. Dia melihat, The Fed sedang wait and see terhadap situasi global. Selain itu, ada data yang akan dirilis seperti data tenaga kerja dan inflasi yang bisa mempengaruhi kebijakan The Fed. Bhima juga berpendapat bahwa The Fed masih akan melihat efek dari penurunan suku bunga yang terakhir. “Tren dovish baru akan terlihat di bulan Oktober atau November,” ujar Bhima.
Baca Juga: Rupiah masih melemah 0,41% di level Rp 14.273 per dolar AS (Pukul 13.29 WIB)
Josua menilai dampak dari situasi perang dagang saat ini tak akan mempengaruhi kebijakan The Fed dalam waktu dekat. Ia bilang data ekonomi AS saat ini masih cukup baik meskipun ada tendensi melambat. Selain itu, Josua juga berpendapat tidak ada urgensi bagi The Fed untuk menurunkan suku bunga pada bulan September nanti. “Karena dari sisi perekonomian AS masih cukup bagus sehingga belum ada concern yang membuat urgensi untuk memangkas suku bunga meningkat,” ujar Josua.
Untuk proyeksi rupiah ke depan, Josua bilang situasi ini masih menekan pergerakan rupiah. Ia menilai dalam jangka pendek, kurs rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp 14.200-Rp 14.350 per dolar AS. “Hingga belum ada progress baru dari negosiasi dagang, rupiah masih akan stagnan di level tersebut,” jelas Josua.
Josua juga optimistis situasi ini tidak menyebabkan pelemahan rupiah melebihi tahun lalu. Pasalnya, fundamental perekonomian Indonesia memiliki ekspetasi yang membaik juga. “Kalau melemah sekali pun, paling cuma di Rp 14.500-an,” ujar Josua.
Baca Juga: Ibu kota pindah, proyek infrastruktur Jakarta Rp 571 triliun tetap berlanjut
Bagi Bhima, rupiah selama sepekan ke depan masih terjaga di kisaran Rp 14.350-Rp 14.450 per dolar AS. Sedangkan dalam jangka panjang, ia bilang rupiah bisa terpuruk hingga Rp 14.800-Rp 14.900 per dolar AS. “Hal itu bisa terjadi jika kondisi perang dagang masih seperti ini dan belum ada solusi,” ujar Bhima.
Bhima juga menyebutkan beberapa hal yang perlu dilakukan agar rupiah bisa terjaga. Salah satunya adalah sektor perdagangan mengingat barang-barang ekspor China terus menekan masuk Indonesia dan menyebabkan defisit perdagangannya bisa melebar.
“Kita harus waspada dan memberikan semacam non-tarif barrier untuk menghambat barang barang China masuk ke Indonesia. Mulai dari pengetatan SNI, kemudian ada penyidikan anti dumping untuk produk tertentu,” jelas Bhima.
Baca Juga: Jokowi beberkan alasan pemindahan ibu kota dari Jakarta
Dari sisi ekspor, Bhima berpendapat bahwa Indonesia perlu mengikuti pernyataan gubernur bank sentral Inggris yang mendorong adanya mata uang alternatif lain selain dolar AS. Menurut Bhima, Indonesia harusnya lebih banyak menggunakan mata uang selain dolar dengan tujuan negara ekspornya. “Kalau ke Malaysia ya pakai ringgit, kalau ke Thailand ya pakai baht,” ujar Bhima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News