Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Yudho Winarto
Ia menjelaskan, dari sisi produksi, ANTM cenderung mengalami hambatan seiring masih terjadinya fenomena La Nina atau cuaca ekstrem lainnya yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, secara jangka panjang, Maryoki optimistis produksi dan volume penjualan ANTM masih akan meningkat.
Dessy secara khusus menyoroti potensi nikel sebagai faktor utama yang mendorong kinerja ANTM ke depan. Ia menjelaskan, produk nikel ANTM sendiri terdiri dari dua produk, yakni ferronikel yang menyasar pasar ekspor.
Serta nickel ori yang lebih diperuntukkan untuk smelter di dalam negeri. Oleh karena itu, Dessy meyakini sentimen nikel justru akan lebih menjadi faktor pendorong bagi kinerja ANTM ke depan.
Baca Juga: Harga naik Rp 3.000, ini daftar lengkap harga emas Antam untuk siangi ini (25/3)
Ia menyebut, terdapat pendorong dari peningkatan volume nickel ore ANTM yang diserap di smelter dalam negeri. Walau sempat terkena isu bahwa Tesla akan menggunakan material lain selain nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), hal tersebut hanya akan menekan harga secara jangka pendek.
“Industri nikel telah bertahan cukup lama sebelum isu EV battery, yaitu sebagai bahan baku industri stainless steel. Menurut kami masih ada potensi pertumbuhan permintaan dari industri stainless steel,” tambah Dessy.
Dessy memperkirakan harga nikel global tahun ini berada pada rata-rata US$ 17,300 per ton. Sementara untuk emas. Dessy menilai tahun ini pergerakan harganya akan cenderung lebih stabil seiring ekspektasi ekonomi global dan Indonesia yang akan mulai pulih. Namun dari sisi volume, ia memperkirakan permintaan masih akan bertumbuh.
Sementara Maryoki mengekspektasikan harga nikel akan berada pada kisaran US$ 16.000-US$ 17.000 per ton untuk tahun ini. Dirinya memproyeksikan kenaikan harga nikel tidak akan sesignifikan seperti yang terjadi awal tahun 2021.