kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.555.000   9.000   0,58%
  • USD/IDR 16.234   9,00   0,06%
  • IDX 7.104   39,71   0,56%
  • KOMPAS100 1.054   6,82   0,65%
  • LQ45 825   3,87   0,47%
  • ISSI 212   1,58   0,75%
  • IDX30 423   1,62   0,38%
  • IDXHIDIV20 507   2,79   0,55%
  • IDX80 120   0,70   0,58%
  • IDXV30 124   0,54   0,44%
  • IDXQ30 140   0,60   0,43%

Simak Rekomendasi Emiten Konstruksi yang Bakal Terdampak PPN 12%


Selasa, 10 Desember 2024 / 12:02 WIB
Simak Rekomendasi Emiten Konstruksi yang Bakal Terdampak PPN 12%
ILUSTRASI. Analis memberikan rekomendasi saham untuk emiten konstruksi di tengah rencana kenaikan PPN 12%


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten konstruksi, baik BUMN Karya maupun swasta, dinilai bakal terdampak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025. Hal ini bisa membuat kinerja mereka makin berat di tahun depan.

Seperti diketahui, pemerintah memutuskan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai awal 2025. Namun, tarif PPN 12% itu berlaku selektif hanya untuk barang mewah.

Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, barang dan jasa terkait konstruksi yang kemungkinan tak akan dipungut PPN 12% adalah rumah/rusun sederhana, rumah/rusun sangat sederhana, jasa konstruksi untuk bencana nasional, serta jasa konstruksi untuk rumah ibadah.

Alhasil, PPN 12% tersebut kemungkinan besar akan memengaruhi kinerja para emiten konstruksi. Sebab, bahan baku dan jasa konstruksi kemungkinan akan ikut naik. 

Baca Juga: Pakuwon Jati (PWON) Memasang PLTS Terluas di Jawa Timur

Di sisi lain, pemerintah juga telah mengetuk pagu anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU), setelah dipisahkan dengan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), sebesar Rp 110,95 triliun untuk tahun 2025.

Director Reliance Sekuritas Indonesia, Reza Priyambada melihat, kinerja emiten konstruksi masih variatif per hari ini. 

Hanya beberapa emiten yang dinilai mampu mencatatkan kinerja baik, yaitu PT PP (Persero) Tbk (PTPP), PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON), PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI), PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk (DGIK), dan PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL).

Kinerja emiten konstruksi, kata Reza, ditentukan berdasarkan seberapa banyak perolehan kontrak yang diperoleh dan seberapa banyak dari proyek tersebut yang dapat dicatatkan sebagai uang masuk.

Sebab, kemampuan itu nantinya akan berimbas pada arus kas mereka untuk kegiatan operasional. 

“Masih adanya proyek pembangunan dari pemerintah maupun swasta, meskipun tidak terlalu agresif, dan renovasi berbagai bangunan tampaknya dapat menjadi penopang kinerja para emiten konstruksi,” ujarnya kepada Kontan, Minggu (8/12).

Dampak dari kenaikan PPN tersebut akan berdampak terhadap kinerja para emiten konstruksi, baik BUMN maupun swasta. Ini terutama bakal memengaruhi kontrak baru maupun penagihan atas kontrak eksisting jika masih ada yang berlanjut alias carry over di tahun 2025. 

Nilai kontrak seharusnya bisa menjadi lebih tinggi dari sebelumnya dengan adanya tambahan dari PPN tersebut. Namun, nantinya bisa dilihat kembali apakah permintaan atas pengerjaan proyek konstruksi akan lebih meningkat atau justru akan lebih rendah dengan lebih mahalnya nilai konstruksi yang diajukan.

“Pengelolaan proyek dan cash flow tentunya akan menjadi perhatian dan pertimbangan manajemen dalam mengelola perusahaan dan sekaligus menghadapi tantangan dan persaingan di tahun depan,” ungkapnya.

 

Terkait kinerja saham, pergerakan saham emiten konstruksi cenderung berada dalam tren menurun. Tengok saja, saham ADHI pernah menyentuh level Rp 3.870 per saham di tahun 2015 dan sekarang bergerak di level Rp 262 per saham. 

Lalu, saham PTPP pernah ada di level Rp 4.850 per saham pada tahun 2016 dan sekarang ada di level Rp 400 per saham. Saham TOTL pernah menyentuh Rp 1.210 pada tahun 2015 dan sekarang ada di level Rp 705 per saham.

Menurut Reza, kondisi ekonomi dalam negeri cukup mempengaruhi kinerja saham emiten konstruksi, baik dari sisi kebijakan pemerintah maupun daya beli masyarakat.

Jika daya beli masyarakat untuk beli apartemen baru, rumah baru, mendirikan tempat usaha baru baik di ruko maupun di gedung bertingkat, dan belanja mengalami penurunan, maka para kontraktor akan mengerem proyek.

“Proyek pasti akan direm daripada nanti setelah dibangun tidak ada permintaannya dan mereka mengalami kerugian,” tuturnya.

Reza pun merekomendasikan beli untuk ADHI, TOTL, dan PTPP dengan target harga masing-masing Rp 270 per saham, Rp 815 per saham, dan Rp 420 per saham.

Founder Stocknow.id Hendra Wardana melihat, kinerja emiten konstruksi saat ini masih bervariasi. Emiten BUMN Karya masih menghadapi tekanan likuiditas akibat tingginya utang serta beban bunga, sementara emiten konstruksi swasta cenderung lebih stabil karena struktur keuangan yang lebih sehat. 

Baca Juga: Sejumlah Emiten Gelar Akuisisi di 2024, Simak Rekomendasi Saham yang Layak Dikoleksi

Emiten, seperti WIKA dan PTPP, masih bergantung pada proyek infrastruktur pemerintah. Sedangkan, emiten swasta, seperti SSIA, lebih fokus pada proyek komersial dan kawasan industri. 

“Sentimen penggerak utama saat ini adalah alokasi anggaran infrastruktur pemerintah untuk 2025 yang cukup besar mencapai Rp 110,95 triliun, serta dinamika kebijakan pajak, termasuk kenaikan PPN 12% yang akan mulai berlaku pada 2025,” ujarnya kepada Kontan, Senin (9/12).

Dampak kenaikan PPN 12% terhadap emiten konstruksi dinilai cenderung beragam. Emiten yang terlibat dalam proyek pemerintah, terutama BUMN Karya, berpotensi menyesuaikan harga kontrak untuk mengkompensasi kenaikan biaya akibat kenaikan PPN. Hal ini pun dinai Hendra dapat mengurangi daya saing emiten konstruksi di sektor swasta.

Emiten konstruksi swasta, seperti SSIA, yang lebih banyak mengerjakan proyek non-pemerintah, mungkin menghadapi tantangan dalam menyesuaikan harga tanpa mengurangi permintaan. 

Secara keseluruhan, kenaikan PPN ini cenderung menjadi beban tambahan bagi sektor konstruksi, tetapi dampaknya akan lebih berat bagi emiten dengan struktur utang tinggi, seperti BUMN Karya. 

Alhasil, di akhir 2024 hingga 2025, emiten dengan diversifikasi proyek lebih luas dan struktur keuangan sehat, seperti SSIA, berpotensi menjadi jawara.

“Sementara, BUMN Karya, seperti WIKA dan PTP,  perlu mengoptimalkan efisiensi untuk mempertahankan daya saing,” tuturnya.

Baca Juga: Emiten Ramai Lakukan Akuisisi di 2024, Simak Rekomendasi Saham yang Layak Dikoleksi

Kinerja saham emiten konstruksi saat ini pun belum sepenuhnya mencerminkan kondisi fundamentalnya. Misalnya, saham WIKA dan PTPP masih undervalued karena tekanan sentimen negatif dari risiko utang, meskipun memiliki peluang penguatan jika berhasil memanfaatkan momentum proyek pemerintah. 

Di sisi lain, saham emiten swasta, seperti SSIA, lebih stabil karena ekspektasi pasar terhadap potensi pertumbuhan di sektor kawasan industri. 

“Emiten yang akan unggul dalam kinerja sahamnya adalah yang mampu menunjukkan efisiensi operasional dan peningkatan margin keuntungan, terutama di tengah tantangan kenaikan PPN,” ungkapnya.

Hendra pun merekomendasikan buy on weakness untuk WIKA di Rp 286 per saham dengan target harga Rp 360, seiring ekspektasi perbaikan kinerja melalui proyek infrastruktur pemerintah. 

Rekomendasi buy on weakness juga diberikan untuk PTPP di Rp 374 per saham dengan target Rp 440 per saham, mengingat potensi penguatan dari proyek-proyek besar pada 2025. 

Untuk emiten swasta, SSIA memiliki prospek menarik dengan rekomendasi buy on weakness di Rp 920 per saham dan target harga Rp 1.070 per saham. Ini didukung oleh diversifikasi proyek kawasan industri dan permintaan pasar yang stabil.

“Dengan pendekatan yang hati-hati, sektor konstruksi masih menawarkan peluang investasi menarik di tengah tantangan yang ada,” kata Hendra.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×