kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Sentimen Risk Off Masih Membayangi Ekonomi Global


Minggu, 07 Juli 2024 / 17:48 WIB
Sentimen Risk Off Masih Membayangi Ekonomi Global
ILUSTRASI. Hingga 4 Juli 2024 investor asing membukukan net outflow sekitar US$ 300 juta dari pasar saham.


Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca risalah FOMC, Pasar memperkirakan penurunan Fed Rate sebesar 50bps tahun ini. Meski begitu, sentimen risk off masih akan membayangi ekonomi global.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, hingga 4 Juli 2024 investor asing membukukan net outflow sekitar US$ 300 juta dari pasar saham, sementara kepemilikan investor asing pada Surat Berharga Negara (SBN) turun sekitar US$ 1,9 miliar. Meskipun demikian, hingga akhir Juni 2024 kepemilikan investor asing pada SRBI meningkat sekitar Rp 123,21 triliun.

Sentimen risk-off yang mempengaruhi pasar keuangan global memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia. Sebagian besar sentimen risk-off tersebut datang dari global seperti ketidakpastian geopolitik Timur Tengah, arah suku bunga Fed, ketidakpastian politik di Eropa, pelemahan Yen Jepang dan devaluasi Yuan.

Sementara dari domestik, investor asing sempat khawatir dengan keberlanjutan fiskal. "Namun sudah dikonfirmasi oleh pemerintah bahwa defisit fiskal dalam jangka pendek ini akan tetap prudent," kata Josua, Jumat (5/7).

Baca Juga: Cadangan Devisa Tahun Ini Dinilai Bisa Tergerus Imbas Ketidakpastian Global

Rupiah tercatat melemah 5,4% sejak awal tahun dan saat ini berada di kisaran Rp 16.278 per dolar AS. Ke depannya, nilai tukar rupiah diperkirakan akan tetap stabil karena secara fundamental ekonomi Indonesia tetap solid terindikasi dari prospek pertumbuhan ekonomi, inflasi yang terkendali, dan posisi cadangan devisa yang juga memadai.

Posisi cadangan devisa Indonesia pada bulan Juni 2024 tercatat sebesar US$ 140,2 miliar, meningkat dari US$ 139 miliar pada bulan sebelumnya. Cadangan devisa Indonesia pada akhir Juni 2024 cukup untuk membiayai 6,3 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh melebihi standar kecukupan cadangan devisa internasional sekitar 3 bulan impor.

Sementara CDS 5 tahun Indonesia sepanjang tahun 2024 ini berkisar di rentang 67,85-80,48. Level terendah tercatat pada pertengahan Maret 2024 dan menyentuh level tertinggi pada pertengahan April yang lalu pasca meningkatnya tensi geopolitik Timur Tengah.

Dalam dua hari terakhir, CDS cenderung mengalami penurunan di tengah ekspektasi pasar bahwa Fed berpotensi menurunkan suku bunga FFR sebesar 50bps pada bulan September dan Desember 2024.

Baca Juga: Jual Aset Bermasalah Agar Beban Perbankan Lebih Ringan Kemudian

Meskipun demikian, Josua menyebut investor perlu tetap waspada terhadap potensi berlanjutnya kenaikan suku bunga acuan oleh the Fed dan dampak dari risiko global yang muncul terkait situasi politik di AS dan Uni Eropa. "Risiko yang berasal dari ketidakpastian global akan tetap menjadi perhatian utama pada paruh kedua tahun 2024," terangnya.

Hal tersebut terutama disebabkan oleh sentimen risk-off yang didorong oleh suku bunga kebijakan higher for longer dari Fed dan risiko politik di AS dan Uni Eropa, terutama di Prancis.

Faktor-faktor tersebut dinilai dapat membatasi aliran masuk modal asing ke Indonesia, karena pihaknya masih mengantisipasi penurunan pertama Federal Funds Rate (FFR) yang akan terjadi pada kuartal IV 2024. Meskipun terdapat potensi penurunan suku bunga FFR pada tahun ini, namun ruang penurunan suku bunga BI diperkirakan akan lebih terbuka di awal tahun 2025 mendatang.

Dengan kondisi tersebut, beberapa instrumen investasi yang menarik dalam kondisi penurunan suku bunga Fed antara lain obligasi pemerintah. Ini mengingat penurunan suku bunga Fed akan berimplikasi pada penurunan yield US Treasury (UST) yang pada akhirnya berpotensi mendorong aliran modal asing ke pasar obligasi domestik.

Baca Juga: Rupiah Menguat ke Bawah Rp 16.400 Per Dolar AS di Akhir Juni 2024

Sementara itu, dengan ekspektasi penurunan suku bunga acuan BI pada awal tahun 2025 mendatang, maka saham, khususnya sektor ekonomi yang cenderung sensitif terhadap penurunan suku bunga juga cukup potensial karena penurunan suku bunga akan mengurangi biaya pinjaman dan meningkatkan margin keuntungan.

Selain itu, harga dari sebagian besar instrumen keuangan akan berpotensi meningkat ketika penurunan suku bunga domestik terjadi.

Dus, investor disarankan mempertimbangkan melakukan diversifikasi yaitu dengan tetap menjaga portofolio di berbagai kelas aset (saham, obligasi, komoditas) dan sektor-sektor ekonomi untuk mengurangi risiko. Selanjutnya, investor juga perlu fokus pada aset keuangan yang berkualitas baik, termasuk saham perusahaan dengan fundamental kuat dan obligasi dengan peringkat kredit yang baik.

Selain itu, dengan ekspektasi penurunan suku bunga, investor dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan durasi portofolio obligasi untuk mendapatkan capital gain keuntungan dari kenaikan harga obligasi. Selanjutnya berupaya dalam mengelola likuiditas yang cukup dalam portofolio untuk mengambil keputusan yang tepat dari peluang investasi yang muncul dan mengatasi volatilitas pasar.

"Terakhir adalah berupaya untuk menghindari penggunaan leverage berlebihan dalam lingkungan suku bunga yang berfluktuasi untuk mengurangi risiko keuangan," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×