Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Saham emiten pengembang kawasan industri terkena imbas kegaduhan yang terjadi selama Pilkada DKI Jakarta.
Saham PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA) misalnya. Saham SSIA memulai tren penurunannya sejak awal November dimana pada bulan ini kegaduhan dimulai seiring dengan adanya aksi demo 411. Saat itu, saham SSIA berada dikisaran level Rp 580 per saham. Namun selanjutnya, harga saham SSIA terus melandai.
Puncaknya terjadi pada awal Januari 2017. Saham SSIA kala itu berada pada level Rp 434 per saham. Ini merupakan level terendah dalam enam bulan terakhir. Saham SSIA sempat kembali menuju level tertinggi Rp 635 per saham pada akhir Januari, tapi kemudian kembali berada tren penurunan hingga saat ini.
Tengok juga saham KIJA. Awal November 2016, saham KIJA masih berada diatas level Rp 290 per saham. Setelah itu, sahamnya terus turun hingga mencapai level terendah pada pertengahan Desember 2016, Rp 264 per saham.
Berbeda dengan SSIA, saham KIJA justru terus naik sejak mencapai level terendahnya itu hingga saat ini berada pada level Rp 304 per saham. Tapi, kenaikan tersebut belum mampu melampaui harga tertinggi enam bulan terakhir, Rp 320 per saham, yang terjadi pada September 2016 lalu.
Logis jika sentimen negatif tersebut menghampiri saham pengembang kawasan industri. "Sebab, salah satu yang paling penting dilihat oleh investor terutama asing ketika berinvestasi dan bangun pabrik di indonesia adalah kestabilan politik," ujar analis NH Korindo Securities Bima Setiaji kepada KONTAN, belum lama ini.
Bukan hanya pergerakan harga saham, sentimen itu malah ada yang sampai mengganggu performa fundamental emitennya.
Sumber KONTAN yang merupakan salah satu pelaku bisnis lain di sektor ini bilang, sentimen negatif Pilkada soal kegaduhan DKI paling dirasakan sejak November.
Ia menuturkan, sebelum bulan itu, sejatinya ada sejumlah perusahaan asing yang sebelumnya berencana membeli lahan industri miliknya. Tapi apa daya, 50% diantaranya mengurungkan niat untuk membeli lahan tersebut.
Akibatnya, penjualan lahan perusahaan itu loyo. Dari sekitar 30 ha yang ditargetkan, hanya sekitar 10 ha lahan saja yang terealisasi.
Sayangnya, Pilkada DKI berlanjut pada putaran kedua. Potensi kembali timbulnya kegaduhan bisa saja terjadi.
"Artinya, sikap wait and see investor asing menjadi lebih lama lagi. Karena di sisi lain mereka juga melihat, ini cerminan kondisi politik saat Pemilu Presiden 2019 nanti," jelas sumber tersebut.
Beruntung bagi KIJA, sentimen negatif itu tak sampai menghampiri fundamentalnya. Muljadi Suganda, Corporate Secretary KIJA bilang, ia tidak melihat bahwa faktor pilkada mempengaruhi minat investor sehingga menunda investasinya.
"Ini terlihat dari realisasi marketing sales konsolidasi 2016 melebihi target," kata Muljadi. Ia bilang, realisasi marketing sales perseroan 10% diatas target sebelumnya, Rp 1,4 triliun.
Bima menambahkan, pengembang kawasan industri yang berkongsi dengan asing memang relatif lebih kebal terhadap sentimen gonjang ganjing politik. Sebab, dengan adanya mitra asing, pengembang lokal tidak terlalu sulit mencari konsumen asing.
KIJA menggandeng Sembawang Corp Development Singapura dalam mengarap proyek kawasan industri di Kendal, Jawa Tengah.
Faktor ini juga yang menurut Bima bisa menjadi salah satu pertimbangan investor untuk masuk ke saham emiten pengembang kawasan industri. Sebab, potensi kegaduhan masih bisa terjadi seiring dengan berlanjutnya Pilkada DKI ke putaran kedua.
Untuk industrial estate, lanjut Bima, lebih baik fokus ke saham PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) karena emiten ini paling besar potensinya untuk mencapai target penjualan.
"Karena DMAS di-support Sojits sehingga DMAS akan lebih mudah mencari investor dari Jepang," pungkas Bima.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News