Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
Fikri menambahkan, perbaikan juga tercermin dari yield Surat Utang Negara (SUN) untuk tenor 10 tahun yang berhasil menurun signifikan hingga 400 basis poin (bps) dalam waktu satu minggu.
Meskipun begitu, penambahan jumlah pasien Covid-19 di dalam negeri yang masih tinggi atau berkisar 400-700 orang per hari, masih jadi perhatian pelaku pasar. Ditambah lagi, hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas, dan memberikan rem bagi masuknya capital inflow secara besar-besaran ke dalam negeri.
"Walau di saat bersamaan USD Indeks tertekan, namun hal tersebut belum dimanfaatkan secara optimal oleh rupiah untuk bisa terapresiasi dengan cukup signifikan," jelas Fikri.
Baca Juga: Perkasa, rupiah menguat 0,45% ke Rp 14.649 per dolar AS di satu jam sebelum penutupan
Adapun sentimen domestik, seperti data inflasi yang stabil dan defisit transaksi berjalan (CAD) yang turun, ikut menjadi pemacu penguatan rupiah dalam sepekan terakhir.
Untuk pekan depan, dia menilai perkembangan terkait ketegangan AS dan China masih akan jadi perhatian dan memberikan dampak bagi pergerakan semua komoditas dan mata uang dunia, termasuk rupiah. Sehingga, volatilitas diperkirakan akan lebih besar terjadi di pekan depan, ketimbang pekan ini.
"Kemungkinan rupiah masih akan cenderung terapresiasi dan bergerak di rentang Rp 14.200 hingga Rp 15.000 per dolar AS," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News