Reporter: Anastasia Lilin Y, Agung Jatmiko | Editor: Imanuel Alexander
JAKARTA. Tak cuma pasar saham yang jeblok. Sejak pertengahan bulan lalu, pasar surat utang juga merana. Harga empat obligasi acuan (benchmark) pada 27 Juni 2013 kemarin kompak mencatatkan level terendah jika dihitung sejak akhir Mei 2013.
Mengutip data Bloomberg, harga obligasi acuan tenor lima tahun, yakni FR0066, turun 5,28% menjadi 95,1. Obligasi acuan tenor 10 tahun turun 8,48% menjadi 89,33. Lalu obligasi acuan tenor 15 tahun ada di level 86,9 seteleh melorot 9,11%. Adapun, obligasi tenor terpanjang yakni 20 tahun berupa seri FR0065 harus rela terpangkas 9,95% menjadi 87,8.
Penurunan obligasi ini juga dibarengi dengan keluarnya dana asing yang mendekam di surat utang negara. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan melansir data per 25 Juni 2013, investasi asing tersisa Rp 285,11 triliun. Padahal, per 31 Mei lalu masih ada Rp 302,94 triliun. Itu berarti dana asing yang hengkang mencapai Rp 17,83 triliun.
Analis Obligasi NC Securities I Made Saputra berpendapat, harga obligasi yang terbentuk saat ini sudah mencerminkan risiko pasar atas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tapi, risiko tak berhenti hingga di sini. Buntut kenaikan harga BBM, yakni potensi kenaikan infl asi di depan mata. “Dampak kenaikan harga BBM ke infl asi baru akan terlihat tiga bulan ke depan,” ujar Made.
Nah, naik atau tidak inflasi akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk melakukan pengendalian harga di pasar. Yang jelas, kenaikan infl asi tak menutup kemungkinan menyeret hal lain, yakni kenaikan lebih lanjut suku bunga acuan (BI rate) dan revisi pertumbuhan ekonomi. Ini akan menjadi bahan pertimbangan bagi pelaku pasar surat utang.
Pengamat obligasi syariah Imam M. S. sepakat akan hal itu. Daftar risiko di dalam negeri juga bakal diperpanjang oleh risiko global, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan China. Jika AS mulai menekan pasar global melalui rencana penghentian stimulus anggaran, China sedang terbelit masalah
perbankan. “Setelah infl asi jelas akan ke mana, maka pasar akan menemukan titik keseimbangan baru dan fl uktuasi bisa berkurang,” kata Imam.
Jangan gegabah menadah
Berbeda dengan Made dan Imam, analis obligasi Mandiri Sekuritas Handy Yunianto malah sudah yakin, kenaikan inflasi akibat BBM akan mereda di kuartal IV. Bila harga obligasi berangsur “normal” namun dana asing yang keluar tetap banyak, pelaku pasar lokal akan menentukan atraktif atau tidak pasar obligasi ke depan. Di sisi lain, pelaku pasar lokal lebih kebal terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah.
Made melihat, meski pasar sedang bearish, pemerintah sepertinya masih bakal jor-joran menggelontorkan surat utang. Suplai yang kemungkinan melimpah di tengah pasar yang sedang tertekan ini kemungkinan akan menyebabkan pasar obligasi sekunder kurang atraktif. Dus, berburu obligasi di pasar perdana mungkin lebih atraktif. Di sini, investor berpeluang meminta kupon tinggi.
Saran untuk berburu obligasi perdana juga berlaku untuk obligasi korporasi. Namun, jangan asal tubruk obligasi berkupon tinggi. Untuk obligasi korporasi, valuasi dan peringkat layak investasi tetap menjadi pertimbangan. Made memberi ancer-ancer, kupon yang layak diberikan penerbit obligasi korporasi dengan peringkat AA adalah 200 basis poin (2%) di atas kupon obligasi pemerintah dengan tenor yang sama.
Sementara, untuk obligasi syariah, Imam bilang, mengingat risiko likuiditas yang lebih seret, obligasi syariah mestinya memberikan premium kupon. Saat ini, rata-rata premium kupon 20 basis poin (0,2%) di atas kupon obligasi konvensional.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 40 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News