Reporter: Yuliana Hema | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar masih terus menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Penguatan ini bakal menjadi angin segar bagi emiten yang berorientasi pada impor, khususnya sektor farmasi.
Hingga akhir perdagangan Selasa (20/8), rupiah spot ditutup 0,73% ke posisi Rp 15.436 per dolar AS. Bahkan, kurs rupiah menguat 5,07% secara month to date atau sejak awal Agustus.
Direktur Infovesta Utama Edbert Suryajaya mengatakan penguatan rupiah disebabkan karena melemahnya indeks dolar AS yang disebabkan adanya ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed.
Dia menjelaskan penurunan suku bunga akan berdampak pada perpindahan dana ke mata uang dengan tingkat suku bunga yang lebih atraktif, seperti rupiah.
"Rupiah merupakan salah satu mata uang yang tertekan cukup dalam terhadap dolar AS, harapannya penguatan IHSG lebih kencang dibanding mata uang lainnya," jelasnya kepada Kontan, Selasa (20/8).
Baca Juga: Intip Saham Pilihan Dari Kiwoom Sekuritas di Tengah Penguatan Rupiah
Edbert mencermati sektor yang berorientasi pada impor akan diuntungkan karena biaya yang dikeluarkan menjadi lebih murah. Menurutnya, sektor farmasi bisa mulai kembali diperhatikan.
Namun di lain sisi, ada sektor yang bakal berdampak negatif dari penguatan rupiah ini. Khususnya, emiten yang berorientasi ekspor seperti, komoditas batubara dan Crude Palm Oil (CPO).
"Namun di sisi lain, investor tetap harus jeli untuk melihat dari setiap emiten dalam sektor komoditas batubara dan CPO mana yang eksposur terhadap dolar AS besar," kata Edbert.
Di tengah penguatan nilai tukar rupiah saham pilihan Edbert jatuh pada KLBF dengan target harga terdekat Rp 2.000. Hingga akhir perdagangan Selasa (20/8), KLBF parkir di level Rp 1.700 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News