Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga acuannya di level 6% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juni, tidak menyurutkan anggapan pasar bahwa BI 7 Days Reverse Repot Rate (BI7DRR) bakal turun tahun ini.
Analis MNC Sekuritas Nurulita Harwaningrum cenderung netral terhadap prospek saham sektor perbankan hingga akhir tahun. Ini karena, secara fundamental likuiditas perbankan masih cukup ketat.
Seiring kondisi likuiditas, cost of fund atau biaya dana perbankan cenderung meningkat. Alhasil, net interest margin (NIM) atau pendapatan bersih bank juga akan tertekan. Meskipun ada rencana pemangkasan BI7DRR, namun Nurulita menilai itu belum cukup untuk menekan penurunan bunga cost of fund dan deposito, lantaran likuiditas masih ketat.
"Untuk bank-bank yang memiliki likuiditas cukup longgar, mungkin akan terbantu dengan penurunan BI7DRR ke depan. Tapi untuk bank dengan likuiditas ketat, sepertinya dampak penurunan suku bunga masih akan terbatas," ungkap Nurulita kepada Kontan.co.id, Jumat (21/6).
Saat seperti ini, dia mengatakan bahwa bank buku empat seperti BBCA (anggota indeks Kompas100), BBRI (anggota indeks Kompas100), BBNI (anggota indeks Kompas100), BMRI (anggota indeks Kompas100), dan BNGA (anggota indeks Kompas100) cenderung mampu menikmati dampak positif dari pelonggaran meneter.
Sayangnya, hingga akhir 2019 likuiditas perbankan diyakini masih akan tertekan, lantaran kondisi ekonomi global yang cenderung masih akan volatile, diikuti pertumbuhan financial technology (fintech) yang kian marak.
Adapun untuk prospek pertumbuhan kredit perbankan di 2019, diperkirakan berada pada kisaran 10-11%, karena pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang cenderung masih lesu dan jauh dari double digit.
"Pertumbuhan kredit akan meningkat seiring dengan perbaikan perekonomian. Tapi, tetap penyalurannya akan terbatas. Pertama karena likuiditas ketat, kedua karena kualitas kreditnya sendiri," katanya.
Sepinya DPK, menurut Nurulita disebabkan oleh dua hal. Pertama karena masyarakat sudah mulai melek terhadap literasi keuangan, sehingga menyimpan uang tidak lagi hanya di bank, melainkan juga lewat investasi. Faktor kedua, masyarakat cenderung masih menahan konsumsi karena perkembangan kondisi ekonomi yang terjadi sekarang ini.
Akibatnya, karena dua hal tersebut pertumbuhan bisnis cenderung ikut tertahan lantaran masyarakat yang masih menahan konsumsinya. Sehingga, pertumbuhan DPK diperkirakan masih akan stagnan.
Meski menahan suku bunga acuan, BI memutuskan menambah kebijakan akomodatif melalui penambahan likuiditas. Yaitu menurunkan giro wajib minimum (GWM) rupiah sebesar 50 basis poin (bps) atau 0,5%, baik untuk bank umum konvensional dan bank umum syariah.
Masing-masing rasio GWM rupiah bank umum konvensional dan bank umum syariah saat ini sebesar 6% dan 4,5%. Dengan GWM rata-rata masing-masing tetap sebesar 3%.
"Penurunan GWM lumayan membantu kinerja perbankan. Sedangkan rencana pemangkasan BI7DRR rasanya (dampaknya) akan bertahap, karena kondisi likuiditas masih ketat sehingga addjustmennya tidak bisa cepat," tegasnya.
Hingga akhir tahun, saham perbankan yang masih dianggap menarik yakni BBCA, BBRI dan juga BNGA. Meskipun saham BBCA (anggota indeks Kompas100) cenderung sudah mahal saat ini, namun dia masih merekomendasikan untuk upaya defensive. Sedangkan untuk BNGA, Nurulita merekomendasikan untuk buy dengan peluang upside menuju Rp 1.375 per saham di akhir tahun.
Sementara analis Kresna Sekuritas Franky Rivan juga memandang prospek saham sektor perbankan masih cenderung netral, khususnya setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan kinerja perbankan nasional dalam empat bulan pertama di 2019 pada Kamis (20/6) lalu. Dalam laporan tersebut, diketahui pertumbuhan kredit mencapai 11,05% dan deposito tumbuh 6,6% year on year (yoy).
Di samping itu, NIM cenderung stagnan di level 4,87% di saat NPL berada di level 2,57%. "Kami mempertahankan pandangan netral kami di sektor perbankan karena pinjaman yang lesu, margin tertekan dan mewaspadai untuk berlanjut," kata Franky dalam risetnya Jumat (21/6).
Adapun beberapa risiko yang menjadi perhatian pasar, terutama karena akan berdampak bagi kinerja sektor perbankan yakni, seperti lebih rendahnya ekspektasi batas kenaikan suku bunga, tingginya harapan pertumbuhan ekonomi dan risiko terjadinya perubahan mendadak pada pandangan politik.
"Saat seperti ini, kami suka BBCA karena kinerjanya lebih baik dan merekomendasikan buy. Ini juga sekaligus untuk melindungi portofolio investor dari risiko penurunan pasar," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News