kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.960.000   -5.000   -0,25%
  • USD/IDR 16.865   -30,00   -0,18%
  • IDX 6.722   43,33   0,65%
  • KOMPAS100 969   3,72   0,39%
  • LQ45 753   3,07   0,41%
  • ISSI 213   1,36   0,64%
  • IDX30 391   1,52   0,39%
  • IDXHIDIV20 470   2,65   0,57%
  • IDX80 110   0,27   0,25%
  • IDXV30 115   0,00   0,00%
  • IDXQ30 128   0,82   0,65%

Saat cuan dicekik musuh dalam selimut


Kamis, 13 Agustus 2015 / 10:10 WIB
Saat cuan dicekik musuh dalam selimut


Reporter: Andri Indradie, Lisa Riani, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Berbagai data ekonomi dan sentimen yang berseliweran belum menunjukkan gejala perbaikan kondisi ekonomi domestik. Hingga akhir tahun nanti tak banyak yang bisa diharapkan lantaran cuma sedikit sentimen yang bisa menjadi harapan.

Tekanan terhadap kinerja produk-produk investasi pun sulit dielakkan. Di pasar saham misalnya, nyali perusahaan untuk nyemplung ke bursa menciut gara-gara kondisi ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

Catatan KONTAN, PT Bentara Sinergies Finance (Bess Finance) misalnya, sudah memastikan memundurkan jadwal initial public offering (IPO) dari tahun ini ke 2016, dengan syarat kondisi membaik.

Target Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa mengundang 32 emiten baru tahun ini pun terancam gagal total. Soalnya, hingga Juni baru ada 7 emiten baru.

Meski begitu, realisasi nilai IPO per Juni 2015 masih terbilang bagus dibanding tahun lalu. Sepanjang 2014, dari 20 emiten baru yang masuk, nilai IPO-nya  hanya Rp 8,30 triliun.

Harry Su, Kepala Riset Bahana Sekuritas, menyebut, di level 4.800-an, price to earning ratio (PER) IHSG ada di kisaran 18,5 kali. Lebih tinggi dari rata-rata PER bursa regional yang sekitar 16,5 kali, dan ketiga tertinggi setelah Filipina 19,8 kali dan India 19 kali. “Karena EPS (earnings per share) growth kita rata-rata hanya sekitar 3%, fair value IHSG memang di 4.800-an,” ujarnya.

Jika pemerintah mampu mendongkrak kinerja ekonomi, meski PER-nya di atas rata-rata, IHSG tetap berpeluang mendaki. Kalau tidak, PER tinggi bisa dinilai kemahalan dan tidak beralasan, sehingga akan ada penyesuaian ke bawah.

Sedikit mendingan
Nasib sedikit lebih bagus dialami pasar obligasi. Gonjang-ganjing ekonomi memang membuat investor asing mengurangi portofolionya, misalnya di Surat Berharga Negara (SBN).

Kepemilikan asing di SBN sempat mencapai puncaknya di 30 Juni 2015, ketika mereka mengempit Rp 537,53 triliun. Namun, memasuki Juli hingga 4 Agustus, kepemilikan mereka tinggal Rp  533,40 triliun.

I Made Adi Saputra, analis obligasi BNI Securities, menilai, kepemilikan asing berkurang lantaran nilai tukar rupiah yang terus terpuruk dan proyeksi laju inflasi yang meninggi
di Juli. “Mereka masih dapat untung di surat utang, tapi terkikis rugi di sisi valas,” kata Made.

Namun, aksi jual masih tergolong minim lantaran return yang ditawarkan obligasi Indonesia memang masih menggiurkan. Return obligasi negara tetangga seperti Thailand dan Filipina, untuk obligasi tenor 10 tahun  return-nya hanya 3%-4%-an. “Sedangkan kita bisa 8%-8,5%. Jauh selisihnya,” ujar Ariawan, analis obligasi Sucorinvest Central Gani.

Apalagi, stok Surat Utang Negara (SUN) baru di sisa tahun ini tinggal 27% dari target setahun yang mencapai Rp 451 triliun. Nah, Ariawan yakin, suplai yang berkurang bakal jadi sentimen positif bagi surat utang sampai akhir tahun.

Khusus untuk reksadana, kinerjanya secara umum memang menurun lantaran instrumen yang jadi isi keranjangnya juga tengah merana. Indeks reksadana saham versi Infovesta Utama, yakni Infovesta Equity Funds Index turun 11,59% dan indeks reksadana campuran turun 5,56% (ytd 31 Juli 2015).

Sementara reksadana pendapatan tetap masih mencatat return positif 1,53%. Meskipun menyusut dari level tertinggi yang sempat mencapai 5,24% (ytd 9 April 2015).

Hanya reksadana pasar uang melalui Infovesta Money Market Funds Index yang masih mencatat return positif 3,63%. “Jangka pendek, reksadana pasar uang masih menjadi alternatif di tengah gejolak pasar,” ujar Praska Putrantyo, analis Infovesta Utama.

Singkat cerita, prospek investasi pasar modal hingga akhir tahun 2015 diperkirakan masih tertekan secara kinerja. Namun, dengan tren pergerakan yang lebih baik dari periode Januari-Juli 2015.

Hal ini didasari oleh bauran sentimen makroekonomi dalam negeri yang meski secara umum bernada miring, namun masih menyimpan harapan. Berikut ulasannya.


• Neraca perdagangan
Perlambatan ekonomi global dan domestik bisa dilihat dari menurunnya aktivitas ekspor-impor Indonesia. Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang semester I-2015, ekspor Indonesia turun 11,86% menjadi US$ 78,29 miliar secara year-on-year (yoy). Impor juga tercatat turun sekitar 17,81% menjadi US$ 73,94 miliar.

Untungnya, neraca dagang Indonesia masih mampu mencetak surplus. Betul, surplus pada Juni 2015 memang “cuma” US$ 0,47 miliar, lebih rendah dari bulan sebelumnya yang
US$ 0,95 miliar.

Namun, jika dilihat dari data akumulasi semester I 2015, Indonesia berhasil mencatat surplus US$ 4,35 miliar. Ini berkat nilai ekspor yang mencapai US$ 78,29 miliar dan impor US$73,94 miliar. Sementara pada semester I-2014, nilai ekspor yang hanya US$ 88,82 miliar dan impor US$ 89,95 miliar memicu defisit sebesar US$ 1,13 miliar. “Sentimen positif yang masih menjadi harapan adalah kondisi neraca perdagangan yang masih bertahan surplus,” kata Praska.

Ke depan, menciptakan neraca perdagangan yang lebih baik bukan persoalan gampang. Bisa meneruskan tradisi surplus saja sudah termasuk luar biasa.

Masalahnya, ekspor nonmigas Indonesia didominasi komoditas yang harganya masih melempem. Adapun ekspor nonmigas lain, misal produk manufaktur, masih terhalang kondisi pasar di banyak negara yang juga sedang meriang.

Di sisi lain, Indonesia sangat tergantung pada barang impor, baik barang kebutuhan industri maupun barang jadi yang dikonsumsi masyarakat. Ada untungnya juga daya beli masyarakat dan kinerja industri dalam negeri tengah lesu darah.

Kondisi itu menyebabkan beberapa konsekuensi. Pertama, permintaan terhadap barang impor juga ikut menurun. Kedua, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menularkan dampak lebih parah hingga membuat nilai impor membengkak.


• Inflasi
Harapan berikutnya ada di inflasi. Pemerintah menetapkan asumsi inflasi 5% tahun ini. Bank sentral mengamini dengan memasang proyeksi 4% +-1%.

Kali ini asumsi inflasi diyakini tak bakal jauh-jauh dari prediksi tadi. Periode Agustus-Desember, tak banyak persoalan yang mengancam. Faktor penyumbang inflasi musiman seperti hari raya Idul Fitri sudah dilewati. Momen natal dan liburan akhir tahun, biasanya tak menyumbang laju inflasi setinggi lebaran. “Sepanjang harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak naik, dan yang lainnya berjalan normal, dugaan kami inflasi Juli akan jadi yang tertinggi tahun ini,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suryamin.

Ya, kunci pengendalian inflasi kini memang ada di tangan pemerintah. Jika harga BBM terus dinaikkan, inflasi bakalan bergerak liar. Harry berharap pemerintah tak terus-terusan mengambil opsi kenaikan harga BBM. Sebab langkah itu bisa kontraproduktif atas upaya menahan pelemahan ekonomi.

Jika terus-menerus diteror kenaikan harga, daya beli bisa makin tergerus. Kondisi itu jelas tidak baik bagi konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Inflasi yang stabil dan cenderung rendah akan menutup salah satu ruang kenaikan BI rate. Kalaupun The Federal Reserve (The Fed) akhirnya jadi menaikkan suku bunga acuannya, tingkat inflasi Indonesia yang terjaga akan menjadi tembok pertahanan yang kokoh bagi BI. “Kalau misalnya nanti Fed rate naik, kita enggak terlalu terpengaruh lagi karena kita sudah mengantisipasinya,” kata Rudiyanto, Head of Operational and Business Development Panin Asset Management.

Alih-alih dikatrol, bank sentral sejatinya malah punya peluang memangkas BI rate. “Kita harapkan inflasi bisa turun lagi, agar nanti BI menurunkan suku bunga,” harap Suryamin.

Namun Rudiyanto menilai langkah BI menahan suku bunga acuan di 7,50% sudah tepat. Inflasi memang rendah, tapi stabilitas nilai tukar rupiah juga harus dijaga. Sebab, kenaikan BI rate kemungkinan akan diikuti dengan pelemahan kurs rupiah terhadap USD.


• Pertumbuhan ekonomi
Data pertumbuhan ekonomi Indonesia juga kurang menggembirakan. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal II-2015 mencapai 4,67% dibanding periode yang sama tahun lalu. Lebih rendah ketimbang pertumbuhan ekonomi kuartal I yang tercatat 4,7% dibanding kuartal I-2014. Secara kumulatif, semester I-2015 pertumbuhannya sekitar 4,7% (yoy).

Realisasi belanja pemerintah yang semula diharapkan bisa menopang pertumbuhan ekonomi, belum menunjukkan perannya. Sementara ini, duit negara lebih banyak dipakai untuk belanja rutin, seperti membayar gaji pegawai. Pos pengeluaran produktif, seperti belanja infrastruktur masih seperti jauh panggang dari api.

Makanya, ambisi pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi 5,7% tahun ini dinilai makin jauh dari kenyataan. Faktor dominan yang bisa memperbaiki keadaan, kuncinya ada di tangan pemerintah melalui penyerapan anggaran belanja negara di semester II-2015.

Menurut Norico Gaman, Kepala Riset BNI Securities, ekspektasi pelaku pasar terhadap realisasi belanja negara di semester II cukup besar. “Kalau semua proyek infrastruktur di bisa dikejar sehingga mampu mendukung kemampuan pasar dan daya beli masyarakat, masih ada kemungkinan kita bisa memperbaiki diri di semester dua,” ujar Norico.

Sejak dulu, belanja negara di pos belanja produktif seperti untuk proyek infrastruktur, memang banyak terserap di kuartal tiga dan empat. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di paruh kedua 2015 mungkin terwujud.

Dongkrak berikutnya, yang bisa sedikit diharapkan kata Rudiyanto, adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Ia berharap, momen politik ini bisa menggerakkan konsumsi. “Ya, siapa tahu bisa seperti tahun 2014 kemarin. Karena ada pilpres, pengeluaran untuk kampanye banyak, konsumsinya, kan, bergerak,” harap Rudiyanto.

Yang jelas, untuk mencapai pertumbuhan 5,7% sepanjang tahun ini, dipandang sebagai suatu hal yang rada mustahil. Sebelum BPS merilis data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal II-2015, beberapa lembaga keuangan sudah lebih dulu bergantian memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015.

Bank Dunia menyunat proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 4,7%. Sebelumnya, Bank Dunia optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2%. Dana Moneter Internasional alias International Monetary Fund (IMF) juga memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia di 2015 dari semula 5,1% menjadi 4,7%.

Dari dalam negeri, BI juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,4% menjadi 5,1%. Dalam Recent Economics Development yang diterbitkan bulan lalu, BI memproyeksikan pada enam bulan kedua 2015 pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 5,5%.


• Rupiah
Sejauh ini, tak ada kabar gembira dari kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Makin ke sini, posisi mata uang garuda kian terjepit oleh the greenback. Sejak awal tahun, level kurs terendah terjadi pada 6 Agustus 2015 saat rupiah terperosok ke Rp 13.529 per dollar AS. Posisi rata-rata berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) ada di Rp 13.031 per USD (ytd 6 Agustus 2015). Jika diukur dari posisi akhir Desember 2014 rupiah sudah terdepresiasi sedalam 8,48%.

Repotnya, tak banyak yang bisa dilakukan BI untuk membalikkan arah rupiah. Padahal, menambah suplai USD di pasar ketika terjadi tekanan di pasar modal dan mengetatkan aturan penggunaan USD oleh perusahaan dalam negeri.

Persoalannya, faktor terbesar masih ada di eksternal. Rupiah letoy lantaran USD yang menguat terhadap mata uang global, akibat tidak adanya kepastian kapan The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya. “Kalau nanti The Fed sudah memastikan kenaikan suku bunga acuannya, mungkin rupiah akan bergerak stabil,” kata Ariawan.

Kalau nanti masih begini-begini saja, asumsi kurs Rp 12.500 per dollar AS yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 pun kemungkinan besar bakal meleset.

Toh, itu sudah biasa terjadi. Paling tidak sejak 2010, rata-rata kurs rupiah terhadap dollar AS memang selalu melebihi asumsi pemerintah.    

Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 45-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM) Negotiation Mastery

[X]
×