Reporter: Nova Betriani Sinambela | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah terus melemah mendekati level Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Kamis (12/12).
Mengutip Bloomberg, Kamis (12/12), rupiah di pasar spot ditutup melemah 0,16% ke level Rp 15.945 per dolar AS. Sementara itu, rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI) melemah 0,21% ke level Rp 15.939 per dolar AS.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana menjelaskan sebenarnya pelemahan rupiah lebih dipengaruhi oleh sentimen eksternal yang kuat. Dolar AS terus menguat.
Baca Juga: Dolar AS Diproyeksi Terus Menguat, JPY dan CHF Berpotensi Bertahan Tahun Depan
Mengutip Bloomberg, Kamis (12/12) pukul 222.06 WIB, indeks dolar ada di level 106,55, turun dari sehari sebelumnya yang ada di 106.71. Namun, indeks dolar masih berada di level yang cukup tinggi, yang menandakan penguatan dolar AS terhadap mata uang utama.
Fikri menyebut terjadi capital flight to safety di pasar domestik, di mana investor menarik modalnya jelang pelantikan Trump.
"Hal ini yang diantisipasi pasar, dan ini juga yang mendorong dananya balik lagi ke dolar AS dari saat kemenangan Trump hingga sekarang," kata Fikri kepada KONTAN, Kamis (12/12).
Berdasarkan statistik harian Bursa Efek Indonesia (BEI), pada hari ini tercatat memang net sell sebesar Rp 2,1 trilun.
Global Market Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan pelemahan rupiah ini memang murni karena faktor global, terutama karena investor mengantisipasi perkembangan kebijakan dari Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump.
Kebijakan Trump mengenai proteksionisme perdagangan yang lebih ketat, serta melakukan kebijakan fiskal yang inflationary kemungkinan akan mendorong inflasi Amerika Serikat lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
"Hal ini juga akan mendorong kenaikan penerbitan surat utang Amerika Serikat sehingga yield obligasi Amerika juga mengalami kenaikan," kata Myrdal.
Sentimen inilah yang diantisipasi oleh para pelaku pasar, maka dari itu menurut Myrdal tidak heran dolar terus-menerus mengalami penguatan secara global. Myrdal juga menyebut sentimen ini berdampak ke pasar obligasi dan SRBI, sebab kepemilikan asing di SRBI mengalami penurunan pada periode Oktober ke November.
Sementara jika dari domestik, Fikri mencermati secara statistik dan likuiditas domestik masih tergolong resilien. Terlihat dari inflasi yang masih di 1,55% per November 2024, pertumbuhan ekonomi juga sepanjang tahun ini di kisaran 5%, lebih tinggi dari global yang di kisaran 3%.
Baca Juga: Kompak, Rupiah Jisdor Melemah 0,21% ke Rp 15.939 Per Dolar AS pada Kamis (12/12)
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menambahkan fundamental ekonomi Indonesia masih solid dengan perkiraan 5,1%-5,2% pada tahun depan. Pun jika mempertimbangkan kebijakan baru terkait kenaikan PPN 12%, kemungkinan tidak akan menekan daya beli masyarakat. Sebab, kenaikan PPN diperuntukkan bagi barang mewah sehingga dampaknya terhadap kelas menengah dinilai minim.
Selain itu, Josua menambahkan bahwa kenaikan tarif BPJS Kesehatan juga berpotensi ditunda untuk meringankan beban masyarakat. Maka dari itu proyeksinya pertumbuhan ekonomi mampu tetap berada di kisaran 5%.
Sekalipun melambat, lanjut Josua, perkembangan rupiah tidak dipengaruhi utamanya oleh faktor pertumbuhan ekonomi namun faktor sentimen global yang mendominasi.
Sementara dari sisi keseimbangan eksternal, defisit transaksi berjalan pada tahun depan diperkirakan masih di kisaran 1% terhadap PDB dan cadangan devisa juga masih dalam level US$ 150 miliar sehingga mendorong ketersediaan supply valas dalam negeri.
Myrdal menambahkan, pemerintah tengah berupaya mendorong perekonomian domestik. Misalnya lewat kebijakan kenaikan UMP, perbaikan sekolah dasar, hingga pemberian bantuan sosial atau bansos. Hal ini dilakukan untuk menjaga ekonomi Indonesia dari tekanan global.
Tahun depan, Josua memperkirakan rupiah berada di kisaran Rp 15.400 hingga Rp 15.800 per dolar AS.
Sementara Fikri memproyeksi rupiah melemah ke kisaran Rp 16.000 sampai Rp 16.200 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News