Reporter: Namira Daufina, Wuwun Nafsiah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Euforia pemberlakuan Undang Undang Pengampunan Pajak atau tax amnesty menyebabkan pasar modal dalam negeri bergairah. Rupiah menguat, meski tak sekencang pasar saham. Ada kesan, pemerintah menahan laju penguatan rupiah.
Lihat saja, kurs tengah Bank Indonesia (BI) memperlihatkan nilai tukar rupiah pada Rabu (20/7) senilai Rp 13.100 per dollar AS, hanya menguat 0,61% dibandingkan akhir bulan Juni 2016. Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 5.242,82 atau naik 4,51% dibandingkan akhir bulan lalu.
Intervensi BI terhadap rupiah bukan hal yang aneh. "Kita takut rupiah terlalu kuat, karena daya saing atau competitiveness produk ekspor kita berkurang," jelas Presiden Joko Widodo, kepada sejumlah redaktur ekonomi media massa di Istana Negara, Jakarta, pekan lalu.
Menurut Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Perdede, ada beberapa sentimen yang mendukung pergerakan rupiah, salah satunya euforia implementasi tax amnesty. Hal ini terlihat dari banyaknya aliran dana ke dalam negeri baik melalui pasar saham maupun obligasi. Tetapi BI tidak menginginkan rupiah menguat terlalu cepat karena dikhawatirkan mengganggu ekspor.
"Padahal jika dari sisi impor efeknya positif dan menguntungkan bagi industri tanah air," papar Josua.
Di sisi lain, isu global juga terus berkembang. Data ekonomi Amerika Serikat (AS) bulan ini cenderung positif. Imbasnya, spekulasi kenaikan suku bunga The Fed kembali menguat dan menahan laju rupiah.
Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Aset Manajemen, menilai, secara teoritis penguatan rupiah bisa menyentuh Rp 12.500-Rp 12.800 per dollar AS. "Arus penguatan harusnya bisa lebih signifikan, terutama jika berkaca inflow di saham dan obligasi," ujar Lana.
Currency war?
Tapi David Sumual, Ekonom Bank Central Asia bilang, faktor eksternal juga menggerakkan rupiah. Mata uang Garuda, menurutnya, terbebani pemulihan ekonomi AS serta pelonggaran ekonomi di beberapa negara yang menguatkan dollar AS.
"Rupiah masih mengikuti pergerakan mata uang di emerging market lain, meski menjadi salah satu yang paling kuat," kata David. Saat ini, David belum melihat ada intervensi BI terhadap rupiah. "Rentang harga jual dan beli rupiah masih tipis, menunjukkan tidak adanya intervensi," ujarnya.
Ariston Tjendra, Senior Research and Analyst PT Monex Investindo Futures, juga menilai BI tak intervensi. "Walaupun data ekonomi bagus, tapi ekonomi global bergejolak, jadi imbas ke rupiah," kata Ariston.
Sedangkan Lana menduga, laju rupiah tertahan karena intervensi BI. Namun jika berbicara perang mata uang untuk meningkatkan daya saing ekspor atau currency war, rupiah belum mengarah ke sana. "Rupiah dan ekonomi belum kuat kalau ikut currency war," ujar Lana.
Josua juga melihat, ada intervensi BI mengingat level support rupiah di Rp 13.050 sulit ditembus. Namun rupiah belum masuk currency war. Apalagi, komoditas ekspor Indonesia belum dapat diunggulkan. Kurs Rp 13.000-Rp 13.400 per dollar AS dinilai cukup aman.
Jika penerapan UU Tax Amnesty sukses, David memprediksi rupiah bergerak di kisaran Rp 13.000-Rp 13.500 per dollar AS. Tetapi jika terus diguyur sentimen positif, bukan mustahil rupiah menuju Rp 12.500 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News