Reporter: Ruisa Khoiriyah, Roy Franedya, Muhammad Khairul | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Setelah mendapat gempuran dari banyak pihak, Bank Indonesia (BI) merespon juga kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Merilis instrumen baru Term Deposit (TD) valuta asing atau valas, otoritas moneter ini berupaya menarik dollar AS milik bank lokal di luar negeri.
Keterbatasan instrumen berdenominasi dollar AS selama ini menjadi alasan bank-bank dalam negeri stok dollar Negeri Paman Sam di luar negeri. Situasi itu tecermin dari nilai transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) bank lokal di mancanegara yang mencapai US$ 2 miliar per hari. Adapun PUAB domestik, nilainya cuma berkisar US$ 400 juta-US$ 500 juta per hari.
Alhasil, saat kebutuhan dollar AS di pasar domestik meningkat, kurs rupiah langsung jatuh. Ini pula yang terjadi belakangan ini. "Term deposit valas nanti bisa kami gunakan dalam rangka stabilisasi nilai tukar," kata Darmin Nasution, Gubernur BI, Selasa (29/5).
Menuju Rp 10.000
Pengamat dan ekonom menilai BI terlambat merilis kebijakan ini. "Harusnya sudah diberlakukan semester II-2011, ketika kurs belum liar," kata Yanuar Rizky, Pengamat Pasar Modal.
Keterlambatan mengantisipasi kekeringan likuiditas dollar AS ini, bisa berujung ke ongkos yang mahal lantaran BI harus memberikan bunga tinggi agar term deposit laku.
Memperhitungkan tingkat bunga Term Deposit Facility (TDF) Amerika Serikat saat ini yang di level 0,255%, bunga TD valas BI harus di atas itu. BI harus mengiming-imingi bunga yang menarik untuk TD valas ini (lihat infografis).
Ongkos bunga tinggi ini pasti bisa membebani neraca BI. Padahal nilai defisit anggaran BI tahun lalu sudah menembus Rp 16 triliun. "Bagi BI urusan biaya itu nomor dua," imbuh Hartadi A. Sarwono, Deputi Gubernur BI.
Lana Soelistianingsih, Ekonom Samuel Sekuritas, menilai, kebijakan baru BI itu, mengesankan BI tengah kekurangan valas. "Meski, untuk jangka panjang kebijakan ini bagus karena mendukung ketersediaan valas di pasar domestik," kata Lana.
Taufan Tito, Dealer Forex Bank Rakyat Indonesia (BI), menilai, instrumen moneter baru ini bisa mengurangi tekanan pada rupiah dalam dua-tiga bulan mendatang. Namun, dalam jangka pendek, kebijakan baru BI ini belum akan menolong rupiah.
Lihat saja, pasar merespon negatif kebijakan baru bank sentral. Harga dollar AS di pasar spot kemarin (29/5), ditutup naik 2,1% menjadi Rp 9.650. Ini adalah kurs terendah rupiah sejak 2009. Kurs tengah BI ditutup melemah 0,5% di 9.475. Kontrak derivatif USD/IDR 1 bulan di pasar offshore melambung ke level tertinggi di posisi 9.684.
Darmin membantah BI mengambil kebijakan yang reaktif. "Jika instrumen yang ada tidak cukup, pada situasi tertentu ya kami harus dijawab apa yang harus dilakukan," tandas dia.
BI beralasan, rilis kebijakan ini baru dilakukan setelah bank sentral mengetahui hasil penerapan kebijakan Devisa Hasil Ekspor, sejak September 2011. "Ternyata kondisi valas begini," kata Darmin.
Apressyanti Senthaury,Analis tresuri Bank BNI, menilai, hingga kebijakan baru ini berlaku, tekanan rupiah masih akan besar. Investor global masih menghindari pasar emerging market.
Level psikologis terbaru USD/IDR saat ini adalah 9.700, dengan strong resistance di level 9.800. "Peluang menuju 10.000 terbuka. Apalagi ekonomi China belum pulih sepenuhnya," kata Apressyanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News