Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih dalam tren melemah. Pada akhir pekan lalu, kurs rupiah bahkan sempat menembus level psikologis Rp 16.400 per dolar AS.
Selepas libur Idul Adha, kurs rupiah sedikit menguat ke level Rp 16.365 pada Rabu (19/6). Gerak melandai rupiah ini menjadi tambahan beban bagi sejumlah emiten, meski di sisi lain ada emiten yang diuntungkan dari menguatnya dolar AS.
Emiten pun mengantisipasi guncangan kurs rupiah terhadap dolar AS, seperti yang dilakukan oleh PT Saraswanti Anugerah Makmur Tbk (SAMF). Perusahaan pupuk termasuk sensitif pada perubahan kurs lantaran sebagian komponen bahan baku, yaitu phospor dan kalium masih perlu impor.
Direktur Utama SAMF Yahya Taufik mengungkapkan, strategi mengantisipasi pelemahan kurs rupiah adalah dengan melakukan hedging.
"Sehingga untuk kontrak yang sudah on hand, tidak ada pengaruh dari pergerakan kurs, karena untuk setiap pengadaan bahan baku sudah dilakukan hedging," kata Yahya kepada Kontan.co.id, Rabu (19/6).
Baca Juga: Rights Issue, Trans Power Marine (TPMA) Siap Akuisisi Bahtera Energi Samudra Tuah
Bersamaan dengan itu, SAMF mengamankan ketersediaan bahan baku agar pasokan tidak menemui kendala. Langkah ini dilakukan SAMF dengan menggandeng penyedia bahan baku pupuk dari Rusia, yaitu Eurochem dan Uralkali untuk kontrak pengadaan hingga akhir 2024.
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menyoroti dua karakteristik emiten yang rentan tertekan oleh pelemahan kurs rupiah. Pertama, emiten yang memiliki utang dalam dolar AS bakal terpapar risiko kurs lebih tinggi.
Kedua, emiten dengan porsi impor bahan baku yang tinggi. Dus, emiten yang rawan terhadap pelemahan kurs rupiah saat ini bisa datang dari sektor barang konsumsi, properti, farmasi, infrastruktur dan industri.
Contoh emiten dari sektor rawan itu di antaranya ada PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Modernland Realty Tbk (MDLN), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), PT Astra Otoparts Tbk (AUTO).
Pelemahan rupiah terhadap emiten yang sensitif terhadap nilai tukar bisa berdampak signifikan. Hal ini dapat tercermin dalam penurunan laba. Biaya impor lebih tinggi dan beban bunga utang dolar AS yang meningkat dapat menekan margin laba.
Tapi Sukarno menekankan dampak fluktuasi kurs terhadap kinerja akan ditentukan oleh sejumlah faktor dari masing-masing emiten. "Seberapa efektif dapat meneruskan kenaikan biaya impor kepada konsumen melalui kenaikan harga jual. Selanjutnya strategi hedging untuk meminimalkan risiko kurs," terang Sukarno.
Head of Research & Fund Manager Syailendra Capital, Rizki Jauhari Indra punya pandangan serupa. Situasi ini berpotensi menyebabkan terjadi rugi selisih kurs dalam laporan keuangan emiten yang rawan pada pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.
Di sisi lain, Rizki melihat potensi kurs rupiah di level saat ini akan bertahan sampai beberapa waktu ke depan. Kemungkinan hingga terjadinya pemangkasan suku bunga The Fed atau Bank Indonesia (BI) menaikkan kembali suku bunga acuannya.
Sukarno menimpali, sulit memprediksi apakah gerak rupiah di level Rp 16.300 - Rp 16.400 akan bertahan lama atau sementara saja. Faktornya bisa datang dari eksternal, dimana kondisi ekonomi global yang kuat dapat meningkatkan permintaan terhadap dolar AS.
Baca Juga: Sektor Consumer Non-Cyclicals Diproyeksikan Bertumbuh, Begini Prospeknya
Selain itu, bisa datang dari intervensi BI, seperti dengan menaikkan suku bunga. Hanya saja, perlu diwaspadai dampak yang akan mengikuti langkah tersebut.
Analis Stocknow.id Abdul Haq Alfaruqy menambahkan, untuk jangka menengah pergerakan kurs rupiah masih sangat bergantung pada kebijakan dan data ekonomi dari Negeri Paman Sam. Rupiah masih menyimpan potensi terdepresiasi hingga ke level Rp 16.700 - Rp 16.800 per dolar AS.
"Secara jangka panjang, rupiah masih berpotensi terkendali yang disebabkan kebijakan moneter suku bunga BI dan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah yang juga cukup menarik," ungkap Abdul Haq.
Strategi Investasi
Meski begitu, tak semua emiten muram tertekan pelemahan kurs rupiah. Ada juga emiten yang cenderung untung dari tren pelemahan kurs rupiah saat ini.
Abdul Haq menyoroti emiten dengan porsi ekspor tinggi, terutama dari sektor energi dan komoditas tambang seperti batubara. "Sehingga penjualan berpotensi mengalami kenaikan di kuartal mendatang," sebutnya.
Sukarno sepakat, emiten yang berorientasi ekspor akan diuntungkan. Meski begitu, bukan berarti emiten yang rawan tertekan kurs akan kehilangan daya tarik. Menurut dia, emiten yang masih mampu meraih laba bersih sahamnya tetap layak dicermati, dan akan menarik kembali saat rupiah menguat.
Rizki menimpali, kondisi ini bisa menjadi momentum untuk melirik kembali saham emiten migas dan batubara. Selain pelemahan kurs, level Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sedang lunglai ikut menambah daya tarik sebagai momentum koleksi.
Sedangkan Abdul Haq menyarankan buy on weakness pada saham PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) mencermati level Rp 2.550 - Rp 2.580 untuk target harga Rp 2.820 - Rp 2.930, stoploss di Rp 2.450.
Rekomendasi lainnya, buy saham PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP). Bisa memperhatikan target harga hingga Rp 9.350 - Rp 9.625, dan stoploss jika turun menembus level Rp 8.475 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News