Reporter: Namira Daufina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Perlahan tapi pasti, nilai tukar rupiah kembali menemukan titik keseimbangan. Tekanan eksternal berhasil dihalau dengan kekuatan domestik. Diperkirakan, prospek cerah mata uang Garuda ini berlanjut hingga tutup tahun 2016.
Di pasar spot, Kamis (30/6), rupiah sedikit terkikis 0,40% jadi Rp 13.210 per dollar AS. Meski demikian, sejak awal tahun nilainya sudah melesat 4,19%. Sejalan, di kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah melemah 0,10% ke Rp 13.180 per dollar AS. Kalau dihitung dari awal tahun, rupiah menguat 4,45%.
Analis Pasar Uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto membenarkan, rupiah sedang prima. Dukungan terbesar datang dari sektor fundamental dalam negeri. "Arus dana asing yang positif hingga disahkannya UU Tax Amnesty menjadi suntikan kepercayaan pasar," jelas Rully.
Faktor domestik memberikan kekuatan bagi rupiah untuk bertahan. Di sisi lain, tekanan eksternal akibat hasil referendum Brexit tak sedahsyat perkiraan. Belum lagi, posisi yen yang diuntungkan ikut menyuntikkan tenaga tambahan bagi sesama mata uang Asia lain, termasuk rupiah.
Di saat yang sama, harga minyak mentah dunia bergerak di level lebih baik, meski tidak selalu kuat. Memandang ke depan, Rully memprediksikan, prospek positif ekonomi Indonesia bakal menjaga rupiah di rentang Rp 13.200-Rp 13.500 per dollar AS hingga akhir kuartal tiga 2016.
"Yang perlu diwaspadai dan bisa melemahkan rupiah hanya spekulasi kenaikan suku bunga The Fed jelang pertemuan FOMC September 2016," tambah Rully.
Faktor The Fed
Research and Analyst PT Monex Investindo Futures Faisyal sepakat, kesempatan The Fed menaikkan suku bunga seolah terkubur dengan ekonomi global yang rentan.
Sehingga kalau pun spekulasi kenaikan itu benar terjadi dan fundamental ekonomi domestik belum memberi katalis positif yang signifikan, Faisyal memprediksikan, pelemahan rupiah terjaga di Rp 13. 500 per dollar AS.
Peluang melemahnya sektor domestik bisa terjadi jika penyerapan dana masuk dari pajak tidak cukup besar untuk menjaga kepercayaan pasar. Faktor penekan lain, pertumbuhan ekonomi tidak bisa dikejar di angka 5,2%.
Terkait katalis positif, ketenangan pasar global pasca meredanya isu kenaikan suku bunga The Fed bisa menjadi faktor utama penguatan rupiah. Ditambah lagi terbukanya peluang BI memangkas suku bunga lanjutan.
"Pemangkasan suku bunga itu bisa positif, jika sampai akhir tahun terlihat aktivitas perekonomian bergulir," papar Faisyal.
Meski demikian, baik Faisyal maupun Rully setuju, penguatan rupiah tahun ini akan bertahan di support kuat, yakni Rp 13.000 per dollar AS. Sulit mengharapkan rupiah menguat lebih dari level tersebut.
Salah satunya karena ekspektasi bahwa BI dan pemerintah akan menjaga rupiah di koridor Rp 13.000-Rp 13.500 per dollar AS. "Ditambah lagi BI pasti akan mengintervensi kalau penguatan bisa menembus Rp 12.900 ke bawah," tutur Rully.
Intervensi BI bisa terlihat dengan cara masuk ke pasar keuangan dan menarik rupiah. Prediksi itu masuk akal. Sebab, penguatan rupiah signifikan dan tiba-tiba bisa menekan ekspor dan mengganggu stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Dengan skenario positif yang ada, Faisyal menduga rupiah di akhir tahun bisa bergerak di kisaran Rp 13.000 sampai Rp 13.500 per dollar AS. Sedangkan Rully menduga, pergerakan rupiah di sekitar Rp 13.200-Rp 13.400 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News