Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih loyo. Meskipun pada hari Senin (29/1) tercatat menguat tipis, tetapi rupiah sudah hampir mendekati Rp 16.000 per dolar AS.
Hari ini, rupiah spot ditutup di level Rp 15.810 per dolar AS, menguat 0,09% dari akhir pekan lalu yang ada di Rp 15.825 per dolar AS.
Rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) ada di level Rp 15.825 per dolar AS pada Senin (29/1). Rupiah di Jisdor BI ini menguat 0,02% dari akhir pekan lalu yang ada di Rp 15.829 per dolar AS.
Pelemahan rupiah ini mempengaruhi sejumlah kinerja sejumlah emiten yang bisnisnya menggunakan mata uang dolar AS.
Baca Juga: Begini Dampak Pelemahan Rupiah Terhadap Kinerja Emiten
Direktur Ekuator Swarna Investama Hans Kwee mengatakan, rupiah melemah karena ekspektasi pemotongan bunga the Fed berkurang dan potensi pemotongan mulai Maret mengecil peluangnya.
Di sisi lain, data Makro ekonomi AS lebih baik. Pertumbuhan PDB AS yang tinggi memberikan peluang soft-landing policy dari The Fed, sehingga penurunan bunga tidak mungkin sampai 5 - 6 kali.
“Rumor pengunduran diri Menteri Keuangan RI Sri Mulyani juga mempengaruhi kinerja rupiah. Bu Sri dianggap punya reputasi bagus mengelola keuangan negara, sehingga rumor tersebut direspons negatif oleh pasar,” tuturnya.
Hans melihat, semua sektor di pasar modal Indonesia akan terdampak negatif dari pelemahan rupiah.”Tetapi, mungkin sektor komoditas akan diuntungkan dari penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” paparnya.
Analis Phillip Sekuritas Helen Vincentia mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah dipicu oleh rilis beberapa data ekonomi AS yang menimbulkan spekulasi bahwa The Fed tidak akan terburu-buru menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat
Baca Juga: Katalis Stimulus China Berdampak Minimal Bagi Mata Uang Kawasan Asia
Menurut Helen, sektor yang diuntungkan oleh penguatan dolar AS adalah sektor yang memiliki kontribusi ekspor yang besar, seperti sektor komoditas. “Sebaliknya, emiten dengan porsi impor bahan baku yang cukup besar berpotensi terkena dampak negatif dari pelemahan rupiah.
Begitu juga dengan emiten yang memiliki utang dalam mata uang asing,” ujarnya kepada Kontan, Senin (29/1).
Jika melansir laporan keuangan per kuartal III 2023, sejumlah emiten properti tercatat memiliki obligasi dolar AS yang cukup besar.
PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) memiliki konsolidasi surat utang dengan nilai total Surat Utang Awal dan Surat Utang Tambahan adalah US$ 400 juta dengan tingkat bunga 4,875% per tahun yang akan jatuh tempo pada tanggal 29 April 2028. Kedua surat utang itu tercatat di Bursa Efek Singapura dengan Bank of New York Cabang London sebagai Wali Amanat.
PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) diketahui memiliki obligasi senior senilai US$131,96 juta dengan kupon 5,95% yang jatuh tempo pada 2024. PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) juga memiliki obligasi sebesar US$ 6,704 juta per kuartal III 2023.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan, kenaikan tingkat suku bunga yang lebih lama dari The Fed, tingginya tensi geopolitik, hingga menaikkan tensi Pemilu 2024 membuat pelaku pasar dan investor asing khawatir.
“Hal itu pun menciptakan repatriasi dana asing. Lepasnya aset aset denominasi rupiah juga merupakan salah satu yang membuat rupiah juga mengalami pelemahan,” ujarnya kepada Kontan, Senin (29/1).
Nico memaparkan, pelemahan rupiah tentu akan berimbas kepada sektor yang memiliki eksposur besar terhadap transaksi impor. Sebab, hal itu akan memberikan tekanan yang lebih besar dengan naiknya harga harga akibat lemahnya Rupiah.
“Industri seperti farmasi tentu saja akan menjadi salah satu sektor yang terkena dampak negatif, karena bahan baku farmasi masih 90% impor,” paparnya.
Sementara, yang terpapar positif adalah emiten yang memiliki eksposur yang besar terhadap aktivitas ekspor.
“Pelemahan rupiah akan meningkatkan keuntungan ke sektor komoditas, mulai dari emiten batubara, minyak dan gas, atau CPO,” ungkapnya.
Baca Juga: Harga Minyak Naik 1% Pasca Serangan Houthi Terhadap Kapal Tanker BBM di Laut Merah
Nico menegaskan, dampak pelemahan rupiah saat ini sifatnya masih sementara, sehingga masih sulit untuk melihat kinerja masing-masing emiten ke depannya.
Pelemahan rupiah saat ini juga belum tentu merupakan kienrja fundamental Rupiah yang sebenarnya di tahun ini.
“Jadi, belum tentu dampaknya langsung negatif ke emiten. Para emiten juga pasti ada yang sudah melakukan hedging kurs,” ujarnya.
Nico pun mencontohkan kinerja PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) saat ini tentu terlihat tidak akan menarik di tengah pelemahan rupiah, karena bahan baku mereka masih impor.
Namun, jika dilihat dalam jangka panjang, kinerja ICBP dan INDF masih menarik, mengingat sentimen positif terhadap sektor konsumen masih banyak dan kinerja fundamental emiten masih baik.
Head of Investment Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe mengatakan, kinerja ICBP dan INDF masih baik di tahun ini masih baik, meskipun dibayangi sentimen negatif pelemahan rupiah.
Baca Juga: Dampak Stimulus China Bagi Mata Uang Rupiah Masih Perlu Diamati
Sebab, ICBP dan INDF memiliki kecenderungan untuk memiliki stok bahan baku yang cukup untuk bisnis mereka setidaknya hingga enam bulan ke depan.
“Ini juga merupakan langkah mitigasi mereka menghadapi gejolak pasar,” ungkapnya kepada Kontan, Senin (29/1).
Kiswoyo juga memberikan catatan bahwa emiten properti dengan surat utang dolar AS juga kemungkinan akan terdampak kinerjanya dalam beberapa waktu mendatang.
”Tetapi, ini tetap balik lagi ke kinerja fundamental masing-masing perusahaan. Seberapa bagus arus kas mereka, itu akan mempengaruhi,” tuturnya.
Kiswoyo pun merekomendasikan beli untuk ICBP dan INDF dengan target harga tertinggi masing-masing Rp 13.000 per saham dan Rp 7.500 per saham.
”Target harga ini sampai akhir tahun,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News