Reporter: Anggar Septiadi, Elisabet Lisa Listiani Putri | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus gagal bayar utang PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) akhirnya bergulir ke ranah hukum. Sinarmas Asset Management dan Asuransi Jiwa Sinarmas mengajukan proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap AISA.
Permohonan PKPU ini terdaftar dengan nomor 92/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst. di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Jumat (6/7). "Termohon PKPU lalai membayar bunga obligasi atas obligasi TPS Food I 2013," tulis Parulian Simamora, pengacara dari Best & Co, selaku kuasa hukum dua usaha di Grup Sinarmas, dalam berkas permohonan PKPU yang diterima KONTAN, kemarin.
Sinarmas Asset Management memegang Obligasi TPS Food I 2013 senilai Rp 21,15 miliar dan Sukuk Ijarah TPS Food II 2016 senilai Rp 296 miliar. Sementara Asuransi Jiwa Sinarmas memiliki Obligasi TPS Food I 2013 senilai Rp 100 miliar dan Sukuk Ijarah TPS Food II 2016 senilai Rp 200 miliar.
Manajemen AISA mengaku belum mengetahui adanya PKPU ini. "Saya belum tahu, malah baru dengar dari Anda," kata Ricky Tjie, Sekretaris Perusahaan AISA ketika dihubungi KONTAN.
Pengajuan PKPU terhadap AISA ini menambah daftar emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang bisnisnya terganjal kasus gagal bayar utang. Sebelum AISA, ada beberapa saham yang juga terkena PKPU, sehingga akhirnya perdagangan sahamnya dihentikan.
Hal ini tentu merugikan investor yang berinvestasi di saham tersebut. Apalagi, biasanya harga sahamnya ikut merosot akibat masalah hukum tersebut.
Saham AISA misalnya, di awal tahun ini masih dilego Rp 476 per saham. Pada penutupan perdagangan kemarin, harganya tinggal Rp 168 per saham, atau turun 64,71%.
Contoh lainnya saham PT Intan Baruprana Finance Tbk (IBFN). Perusahaan pembiayaan ini sudah masuk PKPU sejak Oktober tahun lalu. Harga saham IBFN di akhir tahun lalu masih sebesar Rp 930 per saham. Kemarin, harganya sudah merosot jadi Rp 414 per saham, atau turun 55,48%.
Teuku Hendry Andrean, Research Manager Shinhan Sekuritas Indonesia, menilai kasus AISA ini terjadi akibat berbagai faktor. Pertama, terkait aturan pemerintah, dalam hal ini penetapan harga eceran tertinggi beras. Hal ini mempengaruhi bisnis perusahaan barang konsumer ini. Ujung-ujungnya, hal ini mempengaruhi kemampuan AISA membayar utang.
Kedua, tata kelola perusahaan yang belum mencerminkan good corporate governance. "Yang disayangkan adalah rating dulu bagus, lalu default," kata Hendry.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee juga sepakat. Dia menambahkan, penurunan rating juga mempengaruhi kemampuan AISA mencukupi likuiditas. "Karena rating turun, AISA susah mencari pendanaan," ujar dia.
Pada akhirnya, investor yang harus gigit jari karena investasinya tergerus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News