Reporter: Kenia Intan | Editor: Khomarul Hidayat
Faktor lain yang bisa mengerek IHSG, adanya rilis data ekonomi yang diekpektasikan lebih baik. Misalnya saja data inflasi, cadangan devisa yang diharapkan meningkat, dan neraca perdagangan dengan angka ekspor yang masih mampu bertumbuh lebih tinggi dibanding angka impor.
Dengan skenario rilis data ekonomi positif, suku bunga The Fed tidak mengalami kenaikan, serta inflasi AS terjaga, maka IHSG bulan Juni berpeluang menguji level sekitar 6.100.
Namun, jika The Fed melakukan pengurangan stimulus dan rilis ekonomi domestik cenderung lemah, maka IHSG diperkirakan bergerak di kisaran level 5.715.
Ike mencermati, sektor keuangan menarik karena sudah cukup murah saat ini. Di sisi lain sektor industri dasar dan sektor properti juga bisa diikuti.
Sementara itu, Okie menyebut, IHSG di bulan Mei 2021 masih sejalan dengan proyeksi. Adapun pergerakan IHSG tahun ini diprediksi berada di kisaran level 6.480.
Di bulan Juni 2021, IHSG berpeluang diperdagangkan pada level 6.000 hingga 6.150. Menurutnya, di akhir kuartal II ini pertumbuhan ekonomi akan lebih baik dibandingkan kuartal I 2021, kendati belum pulih sepenuhnya.
" Kami melihat kinerja emiten pada semester I tahun ini masih berpotensi tertekan. Hal tersebut seiringan dengan daya beli masyarakat yang belum kembali seperti sebelum pandemi," ujar Okie lagi.
Secara keseluruhan, ia melihat kondisi tahun ini dapat lebih baik ketimbang tahun lalu. Menurutnya, pemulihan ekonomi dan pemulihan kinerja keuangan akan menjadi pemicu pergerakan IHSG ke depan.
Adapun saham pada sektor perbankan, perkebunan, dan telekomunikasi dapat dijadikan pertimbangan untuk berinvestasi. Beberapa saham yang menjadi pilihan seperti BBCA, BBRI, BMRI, BBTN, BBNI, AALI, LSIP, SIMP, TLKM, dan EXCL.
"Kami menilai pemulihan ekonomi saat ini dapat terakselerasi lebih cepat oleh sektor-sektor tersebut," ujar Okie.
Ia menjelaskan, tren kebutuhan masyarakat saat ini menjadi pemicu untuk sektor telekomunikasi. Sementara, momentum kenaikan harga komoditas menjadi penopang pada emiten sektor perkebunan. Untuk sektor perbankan, membaiknya kualitas kredit dan momentum ekspansi dari sektor riil berpotensi menguatkan kinerjanya.
Kendati kondisi diprediksi labih baik, sentimen eksternal masih dapat menjadi penghambat laju IHSG dalam jangka waktu menengah.
Pemulihan ekonomi di AS yang mendorong adanya rencana pengurangan stimulus atau tapering off dapat memicu aksi jual investor asing pada aset di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebab, risiko fluktuasi pada negara berkembang dinilai lebih besar dibandingkan pada negara maju.
"Hal ini berdampak pada pasar saham maupun obligasi," imbuh Okie. Cuma, tapering off tersebut belum akan terjadi tahun ini. Kemungkinan, pengurangan stimulus AS akan terjadi pada tahun 2022 mendatang.
Aliran modal keluar dari AS akan semakin deras mengingat Presiden Amerika Serikat Joe Biden tengah mempertimbangkan untuk menambah anggaran belanja negara sebesar US$ 6 triliun tahun depan. Kebijakan itu akan memperkokoh kondisi ekonomi AS, sehingga investor akan semakin mempertimbangkan risiko berinvestasi di negara berkembang.
Selanjutnya: Simak proyeksi pergerakan IHSG untuk Senin (31/5)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News