Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proyek hilirisasi nikel menjadi baterai nikel yang dijalankan sejumlah emiten terus bergulir. Analis menilai, pengembangan ekosistem baterai listrik ini akan memoles kinerja emiten di sektor nikel.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan memasang sikap bullish terhadap emiten di sektor logam, khususnya komoditas mineral yang dibutuhkan dalam transisi energi hijau seperti nikel. Dalam hal ini, Indonesia berada di posisi yang tepat untuk mendapatkan keuntungan dari transisi menuju net-zero emission, mengingat cadangan nikel dan tembaga domestik yang melimpah.
Transisi energi ini membuat pabrikan kendaraan listrik dan dan baterai berlomba-lomba mendapatkan aset nikel untuk mengamankan pasokan untuk logam baterai. Hal ini menjadi katalis positif bagi perusahaan logam seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA)
Dalam hal ini, MDKA dan INCO menjadi pilihan utama alias top picks di sektor nikel. MDKA dinilai menarik karena kapasitas pipeline proyek pabrik peleburan (smelter) berteknologi High-Pressure Acid Leach (HPAL) miliknya lebih besar daripada peers. Selain itu, MDKA juga memiliki aset terintegrasi untuk mendukung proyek hilirisasinya.
Baca Juga: MIND ID Menerima 20% Saham Vale Indonesia (INCO) Senilai Rp 12,73 Triliun
Adapun MDKA melalui anak perusahaannya, Merdeka Battery Material berencana untuk mengembangkan dua smelter HPAL di Indonesia Konawe Industrial Park (IKIP) dengan total kapasitas 240.000 ton. Namun, Hasan melihat adanya risiko Keterlambatan eksekusi dari proyek HPAL, karena Merdeka Battery Material dan CATL masih belum memiliki rekam jejak untuk membangun smelter HPAL.
Untuk INCO, Hasan menilai INCO menjadi acuan (proxy) terbaik terhadap London Metal Exchange (LME). Sebab, harga nikel matte milik INCO terkait langsung dengan LME. Selain itu, pipeline proyek HPAL milik INCO merupakan yang terbesar kedua setelah MDKA.
Risiko keterlambatan proyek INCO relatif lebih rendah dibandingkan dengan MDKA. Ini karena INCO bekerja sama dengan Huayou yang telah memiliki rekam jejak positif untuk melaksanakan Proyek HPAL
Di sisi lain, ANTM berada di posisi yang diuntungkan dari adanya lonjakan permintaan bijih nikel untuk mendukung pabrik peleburan (smelter) nikel di Indonesia, mengingat sumber daya nikel ANTM yang melimpah.
Hanya saja, Hasan melihat risiko utama dari ANTM yakni penundaan pelaksanaan proyek rencana joint venture (JV) untuk mengembangkan pabrik HPAL. Ini mengingat ANTM telah menunda penyelesaian proyek smelter FeNi Halmahera selama beberapa tahun.
Direktur Utama Aneka Tambang Nicolas D. Kanter menyebut, pada 16 Januari 2023 telah ditandatangani Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA) dengan Ningbo Contemporary Brunp Lygend (CBL) terkait kepemilikan Antam di anak usaha mereka, yakni PT Sumberdaya Arindo. Dalam hal ini, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya persetujuan (approval) dari Overseas Direct Investment (ODI) China.
Baca Juga: Menanti Dividen Jumbo Emiten Tambang Batubara
Ini karena setiap proyek ekonomi yang berada di luar negeri harus mendapat persetujuan dari pemerintah China. “Persetujuan ini katanya bisa cepat, karena ketika ditandatanganinya G-20 event, CATL ini masuk dan disebutkan dalam agreement antara Pemerintah China dan Indonesia,” kata Nicolas, Kamis (6/4).
Adapun ANTM menargetkan perjanjian jual beli saham PT Sumberdaya Arindo, dengan perusahaan terkendali Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd. (CBL), Hong Kong CBL Limited (HKCBL) akan rampung pada 30 Oktober 2023.
“Kami baru akan terima duit sesuai dengan valuasi itu kalau approval keluar dan persyaratan itu terjadi pada 30 Oktober,” sambung Nicolas.
BRI Danareksa Sekuritas merekomendasikan beli saham MDKA dengan target harga Rp 6.500, beli saham ANTM dengan target harga Rp 8.500, dan beli saham ANTM dengan target harga Rp 3.500
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News