Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja reksadana saham tertekan sepanjang tahun ini. Meski begitu, prospeknya dinilai tetap menarik seiring ekspektasi pemangkasan suku bunga di semester II 2024.
Berdasarkan data Infovesta, kinerja reksadana saham tertekan sepanjang tahun ini. Tercatat di bulan Mei 2024 imbal hasilnya -4,02% (MoM), sehingga mengakumulasi kinerja -8,26% sejak awal tahun (Ytd).
Investment Analyst Sucorinvest Asset Management Felisya Wijaya mengutarakan bahwa pelemahan tersebut diakibatkan kenaikan nilai tukar rupiah yang sudah tembus ke atas level Rp 16.000. Lalu juga disebabkan eskalasi tensi geopolitik dan rilis laporan keuangan perbankan buku IV pada kuartal I 2024.
Baca Juga: Kinerja Reksadana Saham Tertekan Sepanjang Tahun ini, Apakah Masih Menarik?
Juga ditambah kebijakan suku bunga 'higher for longer' The Fed mempengaruhi sentimen investor asing dan memicu aksi jual bersih pada pasar saham Indonesia.
"Secara YTD dan MoM hingga 31 Mei 2024, investor asing mencatatkan aksi jual bersih sebesar Rp 6,25 triliun dan Rp 14,2 triliun," jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (4/6).
Namun begitu, Felisya menilai investasi reksadana saham didukung oleh potensi pemangkasan suku bunga acuan pada semester II 2024. Dengan begitu, diharapkan berpotensi mendorong daya beli masyarakat.
Ia juga menilai cukup prospektif mengingat adanya regime pemerintahan baru. Menurutnya, secara historial 20 tahun terakhir (sejak Pemilu 2004) kinerja pasar saham di tahun Pemilu selalu positif.
Baca Juga: SBN Mendominasi Penempatan Investasi Industri Asuransi Jiwa pada Kuartal I 2024
Selain itu, dengan beragam usaha Bank Indonesia (BI) untuk memperkuat nilai tukar rupiah, Felisya mengharapkan kembalinya inflow investor asing dan meningkatkan likuiditas.
"Mengingat valuasi IHSG relatif murah di bawah -1 standar deviasi yaitu kisaran 13x P/E dan dibawah rata-rata 5 tahun P/E yaitu 17,3 kali," paparnya.
Mesi begitu, dalam jangka pendek pasar saham dalam negeri masih terdapat potensi volatilitas akibat risiko perlambatan ekonomi China yang berdampak secara regional serta eskalasi tensi geopolitik.
Oleh karena itu, strategi pengelolaan reksadana SEF-nya cenderung lebih defensif mengantisipasi sentimen perlambatan ekonomi global.
Baca Juga: SBN Jadi Pilihan Utama Investasi Sejumlah Perusahaan Dapen Per April 2024
"Saat ini kami menerapkan strategi active indexing dengan fokus mengalokasikan pada saham-saham bluechip pada sektor terkait perbankan, energi, telekomunikasi, dan properti sepanjang tahun ini," sebutnya.
Namun, alokasi pada sektor terkait energi akan dikurangi secara bertahap pada tahun ini meskipun potensi dividen yang diharapkan dari sektor terkait masih cukup baik. Selain itu, dengan adanya koreksi yang cukup dalam dan valuasi menarik, pihaknya menambah porsi perbankan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News